Cari Blog Ini

  PERILAKU COMPLUSIVE BUYING DENGAN FAKTOR IMPULSE BUYING , KECEMASAN KONSUMEN DAN ESKAPISME PADA PEMBELIAN MASKER SENSI DI TOKO ONLINE ...

PERILAKU COMPLUSIVE BUYING DENGAN FAKTOR IMPULSE BUYING, KECEMASAN KONSUMEN DAN ESKAPISME PADA PEMBELIAN MASKER SENSI DI TOKO ONLINE SHOPEE

 



PERILAKU COMPLUSIVE BUYING DENGAN FAKTOR IMPULSE BUYING, KECEMASAN KONSUMEN DAN ESKAPISME PADA PEMBELIAN MASKER SENSI DI TOKO ONLINE SHOPEE

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

 

Saat ini negara-negara di berbagai belahan dunia mengalami keterpurukan akibat terpapar Virus corona atau Covid-19yang mengakibatkan berbagai sektor perekonomian didunia menjadi lumpuh.Penyakit koronavirus 2019 (coronavirus disease 2019, disingkat COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus. Penyakit ini menjadi pandemi untuk  seluruh dunia 2019–2020, penderita COVID-19 dapat mengalami demam, batuk kering, dan kesulitan bernapas.Pada penderita yang paling rentan, penyakit ini dapat berujung pada pneumonia dan kegagalan multiorgan hingga berujung pada kematian.Infeksi menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan (droplet) dari saluran pernapasan yang sering dihasilkan saat batuk atau bersin.

 Virus corona atau Covid-19 itu sendiri pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir 2019.World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa virus Corona berasal dari Coronaviruses (CoV) yang menyebabkan penyakit mulai dari flu biasa hingga yang lebih parah seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).Virus Corona merupakan zoonosis yang berarti bahwa virus ini dapat ditularkan antara hewan dan manusia.Hingga saat ini jumlah kasus terinfeksi virus corona atau Covid-19 di dunia terus mengalami peningkatan, lebih dari 190 negara telah mengkonfirmasi terjangkit virus corona atau Covid-19.Secara global, pasien yang terinfeksi mencapai 1.018.920 kasus. Sebanyak 213.525 orang sembuh, 53.292 orang meninggal, dan 752.103 kasus aktif. Pasien yang mengalami gejala ringan sebanyak 714.415 orang, sedangkan gejala kritis sebanyak 37.688 orang.

 Sementara itu, di Indonesia pasien yang terinfeksi virus corona (Covid-19) bertambah 247 orang per 07 April 2020. Hingga saat ini, total pasien yang positif sebanyak 2.738 kasus. Sebanyak 221 pasien meninggal dan 204 sembuh. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban meninggal dunia terbanyak di Asia Tenggara.Hal tersebut dapat dilihat data yang dikeluarkan olehdataboks.katadata.co.id, dengan grafik sebagai berikut:

Indonesia merupakan negara dengan korban meninggal terbanyak di Asia Tenggara. Kasus positif korona atau Covid-19 di IndonesiaHingga saat ini kasus korona atau Covid-19 di Indonesia terus bertambah dan mengalami peningkatan setiap harinya. Hal tesebut dapat dilihat pada data yang dipaparkan olehStatistik Perkembangan COVID-19 Indonesia dengan grafik disebagai berikut:

Corona atau Covid-19 semakin meningkat setiap harinya yang menimbulkan kecemasan bagi masyarakat Indonesia.Semakin meningkatnya jumlah kasus yang terus bertambah menyebabkan kekhawatiran pada masyarakat akan wabah ini. Hal ini pun diperparah dengan pengumuman lockdown oleh pemerintah yang menjadikan kepanikan masyarakat akan terganggunya kebutuhan hidup dan tingkat terjangkitnya pasien wabah ini.Dampak sosial ekonomi dari penyebaran virus ini menyebabkan masyarakat banyak membeli masker dan handsanitizer secara berlebihan yang mengakibatkan harga masker medis di Indonesia melonjak lebih dari enam kali lipat, dengan harga eceran yang awalnya sekitar Rp30.000 menjadi Rp185.000 (beberapa sumber menyatakan lebih dari Rp800.000) per kotak. Masker dan penyanitasi tangan sulit didapatkan masyarakat dalam beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan adanya kasus COVID-19 di Indonesia. Ketersediaan produk pencuci tangan dan masker menjadi barang langka di tengah ancaman pandemi Covid-19. Sekalipun ada, ketersediaannya terbatas dan harganya melambung tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.Masyarakat dihimbau untuk mencuci tangan dan menjaga kebersihan diri menjadi salah satu usaha untuk meminimalkan risiko terpapar Covid-19. Seiring dengan itu, ketersediaan sabun pencuci tangan, hand sanitizer, dan masker menjadi barang yang sulit ditemukan di apotek, toko obat, pusat perbelanjaan atau minimarket. Hal ini diakibatkan meningkatnya pembelian masyarakat untuk barang-barang tersebut yang menjadi alasan kelangkaan. Namun, ketersediaannya masih dapat ditemukan tetapi harganya jauh lebih tinggi daripada di toko ritel atau sebelum kabar tersebarnya wabah Covid-19. Misalnya, di salah satu laman komoditas ritel, harga hand sanitizer botol 60 mililiter berkisar Rp 11.000-Rp 17.000 per botol sebelum isu virus Covid-19 ini ada. Kemudian, pada 22 Maret 2020 pada toko-toko daring (e-commerce) bertepatan dengan merebaknya wabah korona, untuk produk yang sama harganya berkisar Rp 50.000-Rp 75.000 per botol.Hal ini didukung oleh berita yang dilansir dalam CNBC Indonesia mengungkapkan bahwa kendala yang dialami saat ini adalah bahan baku masker yang habis, sehingga alternatif agar masker tetap tersedia adalah dengan melakukan impor bahan baku masker dari eropa, Hal tersebut menyebabkan meningkatnya harga masker di Indonesia. Berdasarkan pernyataan tersebut memicu direktur Kimia Farma, Verdi Budidarmo untuk menegaskan pembatasan pembelian masker hanya sebanyak 2 pcs per hari.

 Lonjakan harga hingga 400 persen ini memang logis secara ilmu ekonomi. Logikanya, saat permintaan banyak dan persediaan sedikit, maka kenaikan harga merupakan momentum pelaku usaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Berbeda dengan konteks pandemi Covid-19 seperti saat ini, logika dasar ekonomi seharusnya dapat ditimbang juga atas nama kemanusiaan.Covid-19 menimbulkan kecemasan bagi masyarakat terhadap menyebarnya virus ini, sehingga masyarakat cenderung membeli hand-sanitizer dan masker secara berlebihan bahkan lebih kepada menimbun. Menurut Lahey dalam Muchnisa dan Sulaiman (2020), kecemasan adalah gangguan psikologis yang melibatkan tingkat emosi negatif yang berlebihan, seperti kegelisahan, ketegangan, khawatir, ketakutan, kecemasan yang menimbulkan depresi.

Masker medis adalah masker yang dimaksudkan untuk dipakai oleh para tenaga kesehatan selama tindakan pembedahan dan selama perawatan untuk menahan bakteri yang terkandung dalam percikan cairan (droplet) dan aerosol dari hidung dan mulut penggunanya. Masker ini tidak dirancang untuk melindungi pemakainya dari menghirup bakteri atau partikel virus di udara dan kurang efektif dibandingkan respirator, seperti masker N95 atau FFP, yang memberikan perlindungan yang lebih baik karena bahan, bentuk, dan pencengkeramannya yang rapat. Masker bedah banyak dipakai oleh masyarakat umum sepanjang tahun di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran penyakit di udara dan untuk mencegah menghirup partikel debu yang dihasilkan oleh polusi udara. Salah satu merek masker yang paling banyak di jumpai di masyarakat adalah adalah masker sensi. Berbagai merk masker di pasar tanah air beredar mengisi etalase-etalase penjual alat kesehatan sejak lama. Beberapa masker merupakan produksi dalam negeri, beberapa merupakan lisensi luar negeri meskipun di produksi di dalam negeri, dan beberapa lagi merk asing. Masker produksi dalam negeri bermerk ‘Sensi’ ini menyediakan perlindungan sekali pakai dalam melawan partikel yang dihirup. Masker tersebut memiliki desain tiga lapis yang melindungi terhadap kelembaban dari luar dan melindungi 95% debu, serbuk sari, bakteri, virus, dan partikel di udara lainnya. Harga jual satu boks masker merek Sensi tembus ke angka Rp200 ribu dari harga normal Rp24 ribu, sementara masker N95 mencapai Rp1,5 juta per boks N95 dari semula Rp400 ribu per boks.

Konsep online shopping menyediakan banyak kemudahan dan kelebihan jika dibandingkan dengan konsep belanja yang konvensional. Selain proses transaksi bisa menjadi lebih cepat, konsep toko online atau e- commerce dapat memangkas banyak biaya operasional karena penjual tidak diharuskan punya toko fisik (Saputra, Sari dan Husein, 2017). Sistem Informasi dalam sebuah e-commerce adalah kombinasi antara prosedur kerja, informasi, orang dan teknologi informasi yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan dalam sebuah organisasi. Perkembangan e-commerce atau toko online tersebut sangat menarik untuk dibahas karena seiring dengan berjalannya waktu, industri telekomunikasi akan semakin berkembang pesat baik dari segi jangkauan layanan maupun kecepatan koneksi internet. (Galindo et al., 2009). Potensi besar industri e-commerce dipengaruhi oleh gaya belanja online, terutama oleh generasi millenial. Di era ini millenial sangat suka mencari perbandingan harga, fitur, program promo, kualitas produk dan metode pembayaran digital payment di beberapa e-commerce sebelum memutuskan membeli sebuah barang. Berdasarkan iprice.co.id, menujukkan bahwa Shopee merupakan e-commerce paling populer dan paling sering digunakan oleh konsumen di Indonesia. Shopee adalah platform perdagangan elektronik yang berkantor pusat di Singapura di bawah SEA Group (sebelumnya dikenal sebagai Garena), yang didirikan pada 2009 oleh Forrest Li. Shopee pertama kali diluncurkan di Singapura pada tahun 2015, dan sejak itu memperluas jangkauannya ke Indonesia pada tahun 2016. Shopee Indonesia merupakan salah satu mobile marketplace terbesar ecommmerce di Indonesia. Shopee merupakan sebuah platform yang dirancang khusus untuk memberikan pengalaman berbelanja online yang mudah, aman dan cepat dengan sistem pembayaran dan dukungan logistik yang kuat. Dengan adanya shopee mempermudah masyarakat untuk membeli produk ditengah kondisi saat ini yang tidak memungkinkan untuk keluar rumah dikarenakan adanya wabah covid 19 yang sedang marak di tanah air ditambah lagi dengan adanya peraturan pemerintah yang memperlakukan lockdown dan PSBB tak terkecuali untuk daerah Bandar Lampung. Hal ini menyebabkan perilaku panic buying yang membuat masyarakat berbondong-bondong membeli produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer di apotik bahkan secara online. Peningkatan transaksi terbesar adalah kebutuhan primer, dalam hal ini makanan dan minuman yang meningkat 59%, perlengkapan sekolah meningkat 34%, dan personal care dalam hal ini hand sanitizer dan masker meningkat 29%, peningkatan jumlah transaksi lewat e-commerce ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah dalam mendorong akseptasi digital kepada masyarakatnya. Selain itu, peningkatan transaksi pembelian lewat e-commerce juga terjadi akibat di berlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) oleh pemerintah akibat penyebaran Covid-19 yang mulai masif. Menurut data yang dihimpun Telunjuk.com (salah satu e-commerce hub di Indonesia), total transaksi penjualan masker gabungan dari tiga e-commerce yaitu Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak sejak 2 Maret sampai 11 Maret sebesar Rp 652.964.118. Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya rasa kecemasan masyarakat yang tinggi akan jumlah peningkatan kasus korona atau Covid-19 yang signifikan. Sebelumnya peneliti telah melakukan sebuah pra-survey untuk melihat seberapa besar tingkat ke-khawatiran dan kecemasan masyarakat pada jumlah peningkatan kasus terkait penyebaran korona atau Covid-19. Survey ini dilakukan terhadap 100 orang yang merupakan masyarakat yang ada di Bandar lampung dengan hasil sebagai berikut:

Berdasarkan hasil dari pra-survei yang telah dilakukan peneliti terhadap 100 orang yang merupakan masyarakat yang berada di Bandar lampung, ditemukan fakta bahwa masyarakat yang khawatir dan cemas akan penyebaran kasus korona atau Covid-19 sebanyak 93 orang (97%), sedangkan masyarakat yang tidak khawatir dan cemas sebanyak 3 orang (3%). Berdasarkan hal tersebut membuktikan bahwa dengan meningkatnya kasus penyebaran virus korona atau Covid-19 menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan di masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan  peningkatan terhadap pembelian pada masker sensI di shopee sebagai langkah antisipasi masyarakat untuk mencegah penyebaran virus ini. Kecemasan konsumen diartikan sebagai rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang dialami konsumen dalam kegiatan sehari-harinya, salah satunya kegiatan belanja. Konsumen yang sering mengalami kecemasan cenderung mengambil keputusan secara terburu-buru yang dapat menyebabkan resiko tinggi dalam pembelian. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan pembelian secara berlebihan sehingga menimbulkan perilaku pembelian kompulsif.

Perasaan cemas yang dialami konsumen dalam kegiatan belanja salah satunya disebabkan oleh pembelian yang tidak terencana atau Impulse buying. Pembelian impulsif ini muncul karena berbagai faktor lingkungan toko yang berperan cukup besar yang kemudian menimbulkan dorongan kuat yang berasal dari dalam diri individu untuk membeli benda yang tidak direncanakan sebelumnya.

Sifat dalam membeli dipengaruhi oleh perilaku konsumen yang setiap orangnya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada elemen yang terdapat dalam diri manusia yaitu afeksi (merujuk pada perasaan konsumen terhadap suatu stimuli atau kejadian) dan kognisi (mengacu pada pemikiran konsumen dan perasaan). Dari elemen yang terdapat di dalam diri manusia dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa elemen-elemen tersebut dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli salah satunya yakni impulse buying. Menurut Solomon dan Rabolt (2009). Hoyer dan  Macinnis (2010), menjelaskan bahwa pembelian impulsif diartikan sebagai pembelian tak terduga yang didasarkan pada perasaan yang kuat, pembelian tersebut terjadi ketika konsumen tiba-tiba memutuskan untuk membeli sesuatu yang tidak mereka rencanakan sebelumnya Hoyer dan Macinnis (2010) dorongan untuk melakukan pembelian tidak terencana atau tanpa niat yang didasarkan pada keinginan yang kuat dan timbul secara spontan untuk membeli suatu benda, dipengaruhi oleh fungsi psikologis konsumen dan pengaruh eksternal, serta pengambilan keputusan yang relatif cepat. konsumen hanya menginginkankan untuk segera membeli benda lebih dari yang telah dimiliki. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, diantaranya pola hidup yang boros hingga menimbulkan masalah finansial yang kemudian dapat menyebabkan kecemasan atau kegelisahan pada saat setelah membeli, menggunakan, ataupun menghabiskan produk yang telah dibeli tersebut.

Menurut Lejoyeux dalam Darrat dan Amyx (2016) menunjukkan bahwa kecemasan menjadi salah satu pemicu pembelian kompulsif karena fenomena ini (pembelian kompulsif) berulang kali terjadi pada konsumen yang mengalami kecemasan akan suatu peristiwa. Kecemasan konsumen merupakan inti pada terjadinya pembelian kompulsif dan juga mungkin ada sesuatu yang lain yang terjadi secara bersamaan sebagai sebab dan akibat dari perilaku tersebut. Rajagopal dalam Budiani (2014), juga menyatakan bahwa perilaku kompulsif biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki presepsi buruk yang tinggi pada sebuah peristiwa. Hal ini terindikasi bahwa pembelian komplusif adalah sebuah pembelian yang tetap dilakukan meskipun pembelian merugikan. Hal ini terlihat dari beberapa kepanikan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dengan membeli berbagai alat kesehatan dan obat-obatan secara berlebihan. Selain itu, pembelian tersebut tidak terkendali dikarenakan kecemasan yang timbul sehingga memunculkan pembelian secara spontan dan tak terencana.

Menurut Darrat dan Amyx (2016) menunjukkan bahwa pembelian komplusif memiliki hubungan dengan perilaku eskapisme yang dapat menjadi mediasi antara sikap cemas dan pembelian kompulsif dimana seseorang yang cemas cenderung ingin menghindari kesulitan sebagai dampak sebuah peristiwa seperti melakukan pembelian secara berlebihan sebagai antisipasi kondisi buruk. Menurut Darrat (2016) Eskapisme adalah sebuah kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan melakukan tindakan antisipasi terhadap suatu kesulitan. Menurut Baron dan Kenny (2016), Eskapisme merupakan suatu variabel disebut variabel intervening jika variabel tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara variabel prediktor (independen) dan variabel kriterion (dependent). Ekapisme muncul akibat dari tingginya persepsi buruk yang akan terjadi pada diri konsumen tersebut sebagai dampak dari peristiwa buruk. Selain itu, dampak dari perisitiwa tersebut menjadikan konsumen terbawa suasana buruk sehingga muncul keyakinan hal yang buruk akan terjadi pada dirinya terkait penyebaran virus korona atau Covid-19.

Berdasarkan teori Gerald dalam Muchnisa dan Sulaiman, (2020) yang menyatakan bahwa seseorang dengan neuroticsm yang tinggi rentan terhadap kecemasan dan depresi serta kekhawatiran. Sementara, pembelian kompulsif melakukan pembelian hanya untuk mengurangi ketegangan, kecemasan, tidak percaya diriyang timbul dalam diri konsumen, Semakin tinggi kecemasan, maka kecenderungan untuk melakukan pembelian kompulsif jugasemakin tinggi. Hal ini membuktikan kecemasan konsumen memiliki hubungan terhadap pembelian komplusif.Hal inipun dibuktikan dengan penelitan Muchnisa dan Sulaiman (2020) bahwa kecemasan konsumen memilki pengaruh positif terhadap pembelian kompulsif. Selain itu, Kecemasan Konsumen memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Eskapisme. Sementara itu pada penelitian Pundian (2017), membuktikan bahwa consumer anxiety (kecemasan konsumen) berpengaruh positif terhadap perilaku kompulsif.Hal ini juga diperkuat Chatzidakis dalam Darrat (2016) menunjukkan bahwa kecemasan konsumen meningkatkan kecenderungan untuk seseorang berperilaku eskapisme. Penelitian tersebut menyatakan ekapisme dapat digunakan sebagai variabel intervening antara kecemasan konsumen terhadap pembelian kompulsif. Penelitian tersbut juga membuktikan Eskapisme dapat memediasi secara parsial hubungan antara Kecemasan Konsumen terhadap Pembelian Kompulsif secara positif.

Menurut Pundian dan Natalius (2017) menyatakan eskapisme berpengaruh positif terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa eskapisme berhubungan positif dengan pembelian kompulsif yang ditunjukkan bahwa suasana hati negatif meningkatkan perilaku kompulsif. Selain itu, perbedaan mood yang esktrim di berbagai negara (baik positif maupun negatif) adalah karakteristik dari konsumen kompulsif yang lebih daripada teman-teman mereka (Faber dan Christenson, dalam Pundian dan Natalius 2017). Dengan demikian, tampak bahwa konsumen mengalami anxiety (kecemasan) dapat menstabilkan suasana hati mereka cenderung ke arah mencari jalan tengah dengan terlibat dalam pelarian (eskapisme) yang berpengaruh terhadap pembelian kompulsif. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah di paparkan diatas, dan didukung dengan fenomena serta didukung dengan beberapa penelitian terdahulu. Peneliti akan memberi proposal skripsi ini dengan judul “Perilaku Complusive Buying Dengan Faktor Impulse Buying, Kecemasan Konsumen Dan Eskapisme Pada Pembelian Masker Sensi Di Toko Online Shopee

 


1.2  Rumusan Masalah

 

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1.      Apakah impulsive buying berpengaruh terhadap complusive buying masker sensi di shopee?

2.      Apakah kecemasan konsumen berpengaruh complusive buying pada pembelian masker sensi di shopee?

3.      Apakah eskapisme berpengaruh terhadap complusive buying masker sensi di shopee

4.      Apakah impulsive buying, kecemasan konsumen, dan eskapisme berpengaruh terhadap complusive buying masker sensi di shopee ?

 

1.3  Ruang Lingkup Penelitian

 

1.3.1 Ruang Lingkup Subjek

Ruang lingkup subjek pada penelitian ini adalah Masyarakat kota Bandar Lampung.

 

1.3.2 Ruang Lingkup Objek

Ruang lingkup objek pada penelitian ini adalah complusive buying, impulsive buying,  kecemasan, dan ekapisme.

 

1.3.4 Ruang Lingkup Tempat

Ruang lingkup tempat pada penelitian ini adalah kota Bandar Lampung.

 

1.3.5 Runang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan maret 2020 sampai dengan bulan agustus 2020.

 

1.3.6 Ruang Linglup Ilmu Penelitian

Ruang lingkup ilmu penelitian dalam penelitian ini adalah manajemen pemasaran

 

1.4Tujuan penelitian

Tujuan penelitian adalah suatu indikasi ke arah mana penelitian itu dilakukan atau data-data serta informasi apa yang ingin dicapai dari penelitian itu. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1.      Untuk mengetahui pengaruh impulsive buying terhadap complusive buying.

2.      Untuk mengetahui pengaruh kecemasan konsumen terhadap complusive buying.

3.      mengetahui pengaruh eskapisme terhadap complusive buying.

4.      Untuk mengetahui pengaruh impulsive buying, kecemasan konsumen, dan  eskapisme terhadap complusive buying.

 

1.5 Manfaat Penelitian

 

Manfaat peneltian adalah kegunaan hasil penelitian nanti, baik bagi kepentingan pengembangan program maupun kepentingan ilmu pengetahuan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

 

1.5.1 Bagi Peneliti

Dengan hasil penelitian ini untuk dapat mengetahui faktor-faktor mempengaruhi perilaku Complusive Buying serta diharapkan dapat memberikan wawasan yang bermanfaat bagi peneliti, sebagai pengetahuan tambahan bagi peneliti selanjutnya dan masukan terhadap manajemen pemasaran mengenai faktor faktor yang mempengaruhi Complusive Buying. Penelitian ini merupakan kesempatan untuk menambah wawasan terhadap dunia praktisi pemasaran khususnya, yang diaktualisasikan dengan didasarkan pada pengetahuan teoritis yang diperoleh di bangku kuliah.

1.5.2 Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah keilmuan pengetahuan mengenai perilaku pembelian kompulsif yang dilakukan konsumen dan faktor-faktor penyebab serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.5.3 Bagi perusahaan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pengembangan perusahaan khususnya untuk menentukan langkah-langkah yang efektif dalam menetapkan kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan penelitian ini. Studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian secara besar dan berulang-ulang pada toko online shopee. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bukti empiris faktor-faktor yang mempengaruhi pembeliankompulsif konsumen, sehingga perusahaan farmasi dapat memahami bagaimana konsumen merespon apa yang melatarbelakangi pembelian mereka, sehingga produk pada perusahaan farmasi yang ditawarkan mampu mengantisipasi jika ada pembelian kompulsif oleh konsumen.

 

1.6 Sistematika Penelitian

 

Untuk mempermudah dan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai isi skripsi ini, pembahasan dilakukan secara komprehensif dan sistematik meliputi:

 

            BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang dilakukan penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistmatika penyusunan penelitian.

 

BAB II Landasan Teori

Bab ini berisikan landasan teori yang berupa penjabaran teori-teori yang mendukung perumusan hipotesis serta sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian lainnya. Terdapat hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini. Bab ini akan menjelaskan mengenai kerangka pemikiran penelitian yang akan diteliti serta hipotesis yang timbul dari pemikiran tersebut.

 

BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang variabel penelitian, definisi operasional penelitian setiap variabel, populasi dan sampel, jenis sumber data yang digunakan, metode pengumpulan data, metode analisis dalam pengolahan data, dan terakhir menjelaskan pengujuian hipotesis.

 

BAB IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Bab ini merupakan inti dari pokok penelitian yang dilakukan. Bab hasil dan analisis membahas mengenai deskripsi objek penelitian, analisis penelitian, dan interpretasi penelitian.

 

BAB V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis penelitian yang dilakukan, serta saran-saran yang dapat menjadi bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

LAMPIRAN

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

2.1       Teori Perilaku Konsumen

 

Perilaku konsumen (consumer behavior) merupakan proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik untuk mendapatkan, mengevaluasi, menggunakan, dan membuang barang dan jasa yang dilakukan seseorang dalam memuaskan kebutuhan (Sudaryono, 2014). Studi perilaku konsumen adalah suatu studi mengenai bagaimana seorang individu membuat keputusan untuk mengalokasikan sumber daya yang tersedia (waktu, uang, usaha, dan energi). Konsumen memiliki keragaman yang menarik untuk dipelajari karena ia meliputi seluruh individu dari berbagai usia, latar belakang budaya, pendidikan, dan keadaan sosial ekonomi lainnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana konsumen berperilaku dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku tersebut (Firmansyah, 2019).

 

Perilaku konsumen dalam melakukan pembelian sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu produk. Faktor-faktor ini memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap konsumen dalam memilih produk. Menurut Kotler dan Keller (2016) dalam (Wira, 2014)faktor-faktor ini terdiri dari faktor budaya (cultural factor), faktor sosial (social factor), dan faktor pribadi (personal factor). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Kotler dan Keller (2016) adalah sebagai berikut :

 

1. Cultural Factor (Faktor Budaya)

Culture (Budaya) merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Karena budaya merupakan suatu tatanan kehidupan manusia yang menjadi dasar segala aktivitas yang dilakukan. Oleh karena itu seorang pemasar harus benar-benar memperhatikan nilai-nilai budaya di setiap negara untuk memahami bagaimana cara terbaik untuk memasarkan produk mereka yang sudah ada dan mencari peluang untuk produk baru. Selanjutnya, Subcultures (Sub-Budaya) merupakan bagian kecil dari budaya dan cirinya dapat terdiri dari kebangsaan, agama, kelompok, ras dan daerah georgrafis. Banyak sub-budaya yang membentuk segmen pasar penting dan pemasar sering merancang produk dan program pemasar yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, sehingga akan dengan mudah diterima oleh pasar. Sementara, Social Classes (Kelas Sosial) merupakan pembagian masyarakat yang yang relatif homogen dan permanen, tersusun secara hirarkis dan anggotanya menganut nilai, minat dan perilaku yang sama.

 

2. Sosial factor (Faktor Sosial)

 Faktor Sosial yang mempengaruhi perilaku pembelian, seperti: Reference Group (Kelompok Referensi) yang merupakan semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut.Selanjutnya, Family (Keluarga) yang merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan anggota keluarga merepresentasikan kelompok acuan utama yang paling berpengaruh. Ada dua keluarga dalam kehidupan pembeli, yaitu: keluarga orientasi yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung, dan keluarga prokreasi yaitu terdiri dari pasangan dan anak.  Semenatara, Roles and Status (Peran Sosial dan Status) menyatakan bahwa setiap orang berpartisipasi dalam banyak kelompok, seperti halnya keluarga, klub, dan organisasi. Kelompok sering menjadi sumber informasi penting dalam membantu mendefinikasikan norma perilaku. Kita dapat mendefinisikan posisi seseorang dalam setiap kelompok dimana dia menjadi anggota bedasarkan peran dan statusnya.

3. Personal Factor (Faktor Pribadi)

Personal Factor (Faktor Pribadi) juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor pribadi meliputi usia dan tahap dalam siklus hidup pembeli, pekerjaan dan keadaan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup dan nilai.

 

2.2 Perilaku Compulsive Buying

 

Compulsive buying adalah perilaku berbelanja yang tidak normal dimana perilaku tersebut tidak terkontrol, berlebihan, berulang, dan memiliki dorongan kuat untuk berbelanja yang dianggap sebagai cara untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stress dan kecemasan (Darat, 2016). Selain itu menurut Darat (2016) menyatakancompulsive buying adalah perilaku pembelian berulang sebagai akibat dari adanya peristiwa tidak menyenangkan atau perasaan negatif yang dialami oleh seseorang. Sedangkan menurut Darrat (2016) compulsive buying adalah jenis perilaku dari konsumen yang tidak pantas, berlebihan, dan mengganggu kehidupan individu dimana perilaku tersebut muncul secara impulsif kepada konsumen.Lejoyeux dalam Darrat (2016),menunjukkan bahwa depresi menjadi salahsatu pemicu pembelian kompulsif karenafenomena ini (pembelian kompulsif)berulang kali terjadi pada pasien depresi. Kecemasan konsumen merupakan intimengapa terjadi pembelian kompulsif danjuga mungkin ada sesuatu yang lain yangterjadi secara bersamaan sebagai sebab danakibat dari perilaku tersebut. Rajagopaldalam Larasati dan Budiani (2014) jugamenyatakan bahwaperilaku kompulsifbiasanya terjadi pada seseorang yangmemiliki tingkat kepercayaan diri yangrendah, tingkat berkhayal yang tinggi, dantingkat depresi, kecemasan, dan obsesi yangtinggi.

  

2.2.1 Indikator perilaku compulsive buying

 

Indikator Perilaku compulsive buying dibedakan menjadi tiga. Menurut Coombs dalam Muchnisa dan Sulaiman (2020) indikator compulsive buyingadalah sebagai berikut:

 a.      Carriying on Despitte Adverse Consequences

Carriying on Despitte Adverse Consequences merupakan pembelian yang dilakukan secara berlebihan dengan tidak mempertimbangkan akibatnya di masa mendatang. Indikator ini, pelaku terus meneruskan perilaku mereka dengan konsekuensi yang merugikan diri mereka sendiri dan orang lain. Perilakucompulsive buying akan terus menerus melakukan pembelian yang berlebihan yang kadang-kadang tidak dibutuhkan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan muncul dalam kehidupan pribadi, sosial, pekerjaan, dan keuangannya. Indikator ini, konsumen dalam melakukan pembelian akan menghabiskan sebagian besar atau seluruh uangnya sekaligus. Ketika uang tersebut tidak dibelanjakan, ia akan merasa kehilangan jati dirinya, karena belanja merupakan bagian dari dirinya.

 

b.      Loss of Control

Loss of Controlmerupakan hilangnya kendali dalam perilaku kecanduanberbelanja. Adanya hilang kendali membuat seseorang tidak mampu melaksanakankehendak mereka. Maksud dari kehendak disini adalah kegagalan seseorangdalam melawan dorongan untuk berbelanja. Termasuk dalam kategori inimisalnya, seseorang membeli sesuatu tanpa berfikir sebelumnya akan membelibarang-barang tersebut atau tidak. Keinginan yang mendadak muncul secaralangsung dan mendorong seseorang untuk membeli sesuatu.Pelaku compulsive buying dalam indikator ini tidak memilikikemampuan untuk mengendalikam perilaku pembeliannya. Mereka merasa mengalami hari yang berat jika tidak membeli,karena mereka membutuhkan perasaan aman setiap hari, yangdiperolehnya setelah melakukan pembelian.

 

c.       Irresistible Impulsive

Irresistible Impulsiveadalah keinginan yang tidak tertahankan, pada indikator ini compulsive buying digambarkan sebagaiketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan tak tertahankan untukmembeli (Coombs dalam Muchnisa dan Sulaiman, 2004). Misalnya,pada saat terjadi peristiwa buruk dan muncul keinginan yang tidak tertahankan untuk segerapergi ke toko kesehatan yang bertujuan untuk membuat konsumen tersebut merasa lebih baik.

 

2.3 Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)

 

Menurut Mowen dan Minor (2010) definisi pembelian impulsif (impulse buying) adalah tindakan membeli yang dilakukan tanpa memiliki masalah sebelumnya atau maksud/niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Sedangkan menurut Suhartini (2016) impulse buying merupakan keputusan yang emosional atau menurut

desakan hati. Hal senada diungkapkan juga oleh Arifianti (2011) mengatakan bahwaimpulse buying berkaitan dengan perilaku untuk membeli berdasarkan emosi. Emosiini berkaitan dengan pemecahan masalah pembelian yang terbatas atau spontan.Dapat dikatakan bahwa impulse buying merupakan sesuatu yang alamiah da merupakan reaksi yang cepat. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa pembelian impulsif (impulsive buying) atau pembelian tidakterencana merupakan pembelian yang tidak rasional dan terjadi secara spontan karena

munculnya dorongan yang kuat untuk membeli dengan segera pada saat itu juga danadanya perasaan positif yang kuat mengenai suatu benda, sehingga pembelianberdasar impulse tersebut cenderung terjadi dengan adanya perhatian danmengabaikan konsekuensi negatif.

 

2.3.2 Indikator Impulse Buying

Menurut Rook dan Fisher dalam Suhartini (2016), impulse buying terdiri darikarakteristik berikut:

a.       Spontanity (spontanitas) Pembelian impulsif terjadi secara tidakterduga dan memotivasi konsumen untuk membeli saat juga,seringkali karena respon terhadap stimuli visual point-of- sale.

b.      Power, compulsion, and intensity, adanya motivasi untukmengesampingkan hal-hal lain dan bertindak secepatnya.

c.       Excitement and simulation. Keinginan membeli secara tiba- tiba yangseringkali diikuti oleh emosi seperti exiting, thrilling atau wild.

d.      Disregard for consequences. Keinginan untuk membeli dapat menjaditidak dapat ditolak sampai konsekuensi negatif yang mungkin terjadidiabaikan.

 

2.4 Kecemasan Konsumen

 

Kecemasan didefinisikan sebagai ketakutan atas masalah diantisipasi. Sebaliknya,ketakutan didefinisikan sebagai reaksi terhadap bahaya. Psikolog fokus pada immediate aspek ketakutan melawan anticipated aspek kecemasan - ketakutan cenderung tentang ancaman yang terjadi sekarang, sementara kecemasan cenderung tentang ancaman masa depan. Keduakecemasan dan ketakutan dapat melibatkan gairah, atau aktivitas sistem saraf simpatik.Kecemasan sering melibatkan gairah moderat, dan ketakutan melibatkan gairah lebih tinggi.Pada akhirnya, seseorang mengalami ketakutan mungkin berkeringat deras, napas cepat, danmerasakan dorongan kuat untuk menjalankan hal tertentu (Kring, Johnson, Davison, & Neale,2013).

 

Menurut Muchnisa dan Sulaiman (2016) Kecemasan konsumen adalahfenomena kompleks yang memilikipengaruh pada faktor biologis, psikologis,dan faktor lingkungan, sehingga jikakonsumen sudah mengalami kecemasan, maka pusat fikitnya akan sangat mudahberalih kepada sesuatu yang dapat menjauhkannya dari sikap cemas ataudisebut dengan perilaku eskapisme sepertimenonton tv, mendengarkan musik,membaca buku atau pun berbelanja.Kecemasan adalah suatu kejadian yang mudah terjadi pada seseorang karena suatu faktor tertentu tidak spesifik (Sari dan Batubara, 2017). Anxietas/kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang  mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan merupakanrespon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi tidak normalapabila tingkatannya tidak sesuai dengan porsi ancamannya ataupun datang tanpa adanya sebab tertentu (Darrat, 2016).

 

2.4.1 Indikator Kecemasan Konsumen

 

Menurut Darrat (2016)  kecemasan konsumendapat diukur dengan indikator sebagai berikut:

1)Merasa takut tanpa alasan, yakniperasaan cemas, gelisah yang tidakdiketahui penyebabnya,

2) Mudahmarah atau merasa panik, yaitu tidak bisa menahan untuk tidak membeli, merasakhawatir dan menjadi pemarah terhadap hal hal kecil.

3) Merasa tidakkaruan, suatu keadaan atau kondisidimana seseorang sedang mengalamipikiran atau perasaan yang sedangkacau tidak karuan. Kondisiseperti ini seseorang merasaterkurung” dalam keadaan yang ada dan merasa kesulitan untuk mengambil keputusan apalagi untuk menyelesaikannya.

 

 

 

2.5 Eskapisme

 

Muchnisa dan sulaiman (2020) menyatakan dalam penelitiannya bahwa Eskapisme merupakan perilaku atau tindakan yang bertujuan untuk menghindari diri dari kesulitan dan emosi negatif melalui fantasi atau imajinasitentang sesuatu hal yang diharapkan terjadidimasa yang akan datang seperti imajinasitentang kesuksesan individu ataupenerimaan dalam kehidupan sosial yanglebih baik. Konsumen yang berprilakueskapisme ini mengalternatifkan berbelanjasebagai penghilang setres, dengan melakukan kegiatan belanja tersebut konsumen dapat menjauhkan diri dari peristiwa buruk dan akan merasa lega.

 

Menurut Hoeve dan Shadily(2014), Eskapisme adalah sikap hidup yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan, terutama dalam menghadapi masalah yang seharusnya diselesaikan secara wajar. Banyak gejala gangguan jiwa yang dapat ditafsirkan sebagai usaha yang bersifat eskapisme. Eskapisme juga berarti cara memusatkan perhatian pada hal-hal menyenangkan yang bertentangan dengan realitas keras dari kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat menjadi sarana agar tidak tertekan dengan kenyataan di kehidupan sehari-hari atau dalam bentuk yang ekstrem dapat mengakibatkan perilaku obsesif (terobsesi / sulit menghentikan) yang membuat orang benar-benar mengabaikan realitas. Eskapisme modern dalam arti yang sehat dapat berupa membaca buku favorit, menonton program olahraga, atau sekedar bermain. Akan tetapi, sangat sedikit orang yang melarikan diri dari kenyataan dalam bentuk seperti ini. Kegiatan normal, seperti makan, tidur atau aktivitas seksual juga dapat dianggap sebagai eskapisme ketika mereka melakukannya secara berlebihan. Misalnya, tidur lebih dari setengah hari karena seseorang tidak bisa menjalankan kehidupan normalnya. Tidur tersebut dapat disebabkan karena kelelahan atau gejala dari depresi.

 

 

2.5.1 Indikator Eskapisme

 

Menurut Darrat (2016) perilakueskapisme dapat di ukur denganbeberapa indikator sebagai berikut:

1.    Sering berfikiran negatif dimana seseorang akan terus berfikiran negatif terhadap suatu peristiwa atau keadaan sehingga menimbulkan tindakan yang membuat dia merasa lebih aman.

2.    Mudahterbawa suasana dalam aktifitas yangpositif maupun negatif, seseorang yang mudah terbawa suasana akan lebih cepat merespon sebuah peristiwa yang sedang terjadi.

3.    Sering memikirkanhal yang belum tentu terjadi, memicu timbulnya rasa kekhawatiran atau kecemasan pada diri seseorang.

 


2.6 Penelitian Terdahulu

 

No

Judul

Peneliti

Variabel

Hasil

Perbedaan

1

Pengaruh pembelian impulsif terhadap kecemasan konsumen yang berdampak pada pembelian kompulsifdan dimediasi oleh eskapisme (studi kasus padamatahari departement store di banda aceh)

 

Muchnisa dan sulaiman (2020)

Pembelian impulsif, kecemasan konsumen, pembelian kompulsif, eskapisme

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelian impulsif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kecemasan konsumen,

kecemasan konsumen berpengaruh positif dan signifikan terhadap eskapisme, eskapisme berpengaruh

positif dan signifikan terhadap pembelian kompulsif dan kecemasan konsumen berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pembelian kompulsif.

Tidak adanya variabel pembelian impulsif sebagai variabel independent

2

How impulse buying influences compulsive buying: The central role of

consumer anxiety and escapism

Darrat, Aadel A., Mahmoud A. Darrat., Douglas Amyx, (2016)

Impulse Buying, Compulsive Buying, Consumer Anxiety, Escapism

efek positif pada pembelian kompulsif dan pelarian konsumen Berlawanan dengan , pelarian konsumen menunjukkan efek negatif yang signifikan

pembelian kompulsif.

 

Tidak adanya variabel impulse buying dan variabel consummer anxiety sebagai variabel mediasi

3

Compulsive buying and hoarding as identity substitutes: The role of

materialistic value endorsement and depression

Laurence Claes, Astrid Müllerc, Koen Luyckx (2016)

Compulsive buying,identity confusion, materialistic value endorsment, depression (anxiety)

interaksi positif yang signifikan antara kebingungan identitas, pembelian kompulsif, dan penimbunan. Hubungan antara kebingungan identitas dan pembelian kompulsif sepenuhnya dimediasi oleh dukungan nilai materialistis; sedangkan depresi memediasi hubungan antara kebingungan identitas dan penimbunan

 

 

 

Tidak adanya variabel identity confusion dan materialistic value

4

fear, therefore, I shop, exploring anxiety sensitivity in relation to compulsive buying

Catherine E. Gallagher, MargoC.Watt at all (2016)

Compulsive buying, Negative affect, Anxiety sensitivity

Pembelian kompulsif melibatkan keasyikan dengan, atau mendorong, membeli, yang dialami sebagai hal yang mengganggu dan tidak terkendali. Pembelian kompulsif dikaitkan dengan gangguan fungsi dan berfungsi untuk mengurangi gairah emosional negatif. Sensitivitas kecemasan (AS: takut sensasi somatik terkait gairah) adalah faktor risiko yang diketahui untuk gairah emosional negatif. Penelitian ini menyelidiki apakah AS terkait dengan pembelian kompulsif, melebihi dan di atas pengaruh negatif (depresi, kecemasan, stres), dalam sampel mahasiswa sarjana Kanada.

Tidak ada variabel kecemasan dan eskapisme

5

Pengaruh impulse buying, consumer anxiety, dan escapism terhadap perilaku compulsive buying pada konsumen sepatu di Surabaya

Pundian, Yosep Natalius (2017)

impulse buying, consumer anxiety, dan escapism, compulsive buying

1. Impulse buying berpengaruh positif terhadap consumer anxiety

pada konsumen pembelian sepatu di Surabaya. Hipotesis satu

diterima.

2. Consumer anxiety berpengaruh positif terhadap compulsive buying

pada konsumen pembelian sepatu di Surabaya. Hipotesis dua

diterima.

3. Consumer anxiety berpengaruh positif terhadap munculnya

perilaku escapism pada konsumen pembelian sepatu di Surabaya.

Hipotesis tiga diterima

4. Escapism berpengaruh positif terhadap perilaku compulsive buying

pada konsumen pembelian sepatu di Surabaya. Hipotesis empat

diterima.

 

 

 

2.9 Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan terhadap hubungan antara dua variabel atau lebih. atau dapat didefinisikan hiopetisis adalah jawaban atau dugaan sementara yang harus diuji kebenarannya (Siregar, 2015). Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.9.1Impulsive buying Terhadap Compulsive Buying

 

Sifat dalam membeli dipengaruhi oleh perilaku konsumen yang setiap orangnya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada elemen yang terdapat dalam diri manusia yaitu afeksi (merujuk pada perasaan konsumen terhadap suatu stimuli atau kejadian) dan kognisi (mengacu pada pemikiran konsumen dan perasaan). Dari elemen yang terdapat di dalam diri manusia dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa elemen-elemen tersebut dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli salah satunya yakni impulse buying. Menurut Muchnisa dan sulaiman (2020) menyatakan bahwa impulse buying adalah suatu kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan terdesak secara tiba-tiba yang tidak dapat dilawan. Pundian dan natalius (2017), menyatakan impulse buying seringkali memaksa dan mendesak.  Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya impulse buying antara lain emosional, kepribadian, dan faktor demografis berupa jenis kelamin, usia, kelas sosial ekonomi, pekerjaan dan pendidikan. Namun riset menunjukkan bahwa konsumen sering mengalami perasaan menyesaldan rasa bersalah setelah melakukan impulse buying (Darratetal.,2016).Berdasarkanuraiantersebut,

Hipotesispertamadirumuskansebagaiberikut:

          H1 : impulsive buying berpengaruh terhadap compulsive buying masker sensi di shopee

 

2.9.2 Kecemasan Konsumen Terhadap Compulsive Buying

 

MenurutLahey (2009), gangguan kecemasan adalah gangguan psikologis yang melibatkan tingkat emosi negatif yang berlebihan, sepeti kegelisahan, ketegangan, khawatir, ketakutan, kecemasan yang menimbulkan depresi. Hasil penelitian Lejoyeux dalam Darrat (2016), menunjukkan bahwa depresi menjadi salah satu  pemicu pembelian  kompulsif  karena fenomena ini (pembelian kompulsif) berulang kali terjadi pada pasien depresi. Kecemasan konsumen merupakan inti mengapa terjadi pembelian kompulsif dan juga mungkin ada sesuatu yang lain yang terjadi secara bersamaan sebagai sebab dan akibat dari perilaku tersebut. Rajagopal dalam Larasati dan Budiani (2014) juga menyatakan bahwaperilaku kompulsif biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi, dan tingkat depresi, kecemasan, dan obsesi yang tinggi. Melihat dari beberapa peneliti sebelumnya ini maka penulis memperkirakan bahwa kecanduan pembelian kompulsif ini meningkat akibat dari kecemasan konsumen.Berdasarkanuraiantersebut, Hipotesispertamadirumuskansebagaiberikut:

            H2 : kecemasan konsumen berpengaruh terhadap compulsive buyingMasker sensi di shopee

2.9.3 Perilaku Eskapisme Terhadap Compulsive Buying

 

MenurutMuchnisa dan Sulaiman (2020) menyatakan dalam penelitiannya bahwa Eskapisme merupakan perilaku atau tindakan yang bertujuan untuk menghindari diri dari kesulitan dan emosi negatif melalui fantasi atau imajinasi tentang sesuatu hal yang diharapkan terjadi dimasa yang akan datang seperti imajinasi tentang kesuksesan individu atau penerimaan dalam kehidupan sosial yang lebih baik. Konsumen yang berprilaku eskapisme ini mengalternatifkan berbelanja sebagai penghilang setres, dengan melakukan kegiatan belanja tersebut konsumen dapat menjauhkan diri dari peristiwa buruk dan akan merasa lega.Berdasarkanuraiantersebut, Hipotesisketigadirumuskansebagaiberikut:

H3: perilaku eskapisme berpengaruh terhadapcompulsive buying masker sensi di shopee

2.8.4 impulsive buying, Kecemasan, Konsumen dan EskapismTerhadap Compulsive Buying

 

Perilaku konsumen dalam menghindari perasaan bersalah dan menyesal tersebut mengakibatkan konsumen berperilaku eskapis (escapism) atau juga bisa didefinisikan sebagai sikap hidup yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan, terutama dalam menghadapi masalah yang seharusnya diselesaikan secara wajar sehingga dengan kata lain eskapisme muncul  sebagai akibat dari kecemasan ataupun emosi negatif lainnya yang dialami manusia. Jadi untuk menghadapi masalah ataupun kecemasan (anxiety) maka salah satu cara konsumen untuk mengatasinya adalah dengan berbelanja yang dapat menimbulkan emosi positif. Hal ini juga didukung oleh bukti metaanalisis yang menunjukkan bahwa suasana hati yang positif memiliki keterkaitan konsumsi kompulsif pada orang dewasa (Cardi dkk.,2015). Demikian pula, konsumen impulsif akan mencari bantuan dari kecemasan melalui fantasi atau escapism.Hasil penelitian Lejoyeux dalam Darrat (2016:105), menunjukkan bahwa depresi menjadi salah satu pemicu pembelian kompulsif karena fenomena ini (pembelian kompulsif) berulang kali terjadi pada pelanggan depresi (merasa cemas), namun hal lain seperti perilaku eskapismejuga menjadi pemediasi antara sikap cemas dan pembelian kompulsif dimana seseorang yang cemas cenderung ingin menghindari dari dan memusatkan perhatian pada hal-hal menyenangkan seperti melakukan pembelian secara berlebihan sebagai cara untuk mereda rasa cemas.Eskapisme merupakan salah satu variabel mediasi, hal ini dibuktikan dengan beberapa  penelitian  yang  juga menggunakan eskapisme sebagai pemediasi seperti penelitian yang di lakukan oleh Chang (2011) menunjukkan bahwasanya game berpengaruh secara tidak langsung terhadap masalah penggunaan internet dimana hubungan keduanya dimediasi oleh eskapisme. Eskapisme berperan sebagai variabel mediator yang berpengaruh signifikan. Hal ini didukung oleh pendapat Baron &Kenny dalam Frode et al.,(2012) yang menyatakan eskapisme diprediksi memediasi hubungan antara self- suppression dan self-expansion.Berdasarkanuraiantersebut, Hipotesiskeempatdirumuskansebagaiberikut:

 

          H4: Impulsive buying, kecemasan konsumen dan eskapisme berpengaruh terhadap  compulsive buying masker di shopee.

 

 

 


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1              Jenis Penelitian

 

Penelitian ini adalah jenis penelitian kasualitas yang merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antara dua variabel atau lebih. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2017), metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

 

3.2       Sumber Data

 

Sumber data penelitian ini menggunakan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dengan survey lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original. Data primer yang dimaksud adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan memberi kuesioner (angket) dengan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Peneliti melakukan pengajuan kuesioner telah disusun berdasarkan variabel yang diteliti.

 

3.3       Metode Pengumpulan Data

 

Penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup, dimana Kuesioner tertutup merupakan kuesioner yang menghendaki jawaban pendek, atau jawabannya diberikan dengan membubuhkan tanda tertentu. Daftar pertanyaan disusun dengan disertai alternatif jawaban, responden diminta untuk memilih salah satu jawaban atau lebih dari altenatif yang disediakan.  Peneliti menggunakan google form dalam menyebarkan kuesioner penelitian. Peneliti mengambil data atau informasi yang di inginkan dengan cara mengajukan daftar pertanyaan berupa angket kepada 30 responden yang merupakan konsumen Shopee.

Dalam penelitian ini, pengukuran yang digunakan menggunakan pengukuran skala interval. Skala interval adalah skala yang memenuhi skala nominal dan ordinal dan memiliki interval (jarak) tertentu. Skala interval ini lebih fleksibel, tidak terbatas untuk pengukuran sikap saja tetapi untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lain nya, seperti untuk mengukur status sosial ekonomi, kelembagaan, pengetahuan, kemampuan, proses kegiatan dan lain-lain (Sugiyono, metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D, 2017). Berikut skala interval yang digunakan dalam penelitian ini:

 

Jenis Jawaban

Bobot

Sangat Tidak Setuju (STS)

1

Tidak Setuju (TS)

2

Kurang Setuju (KS)

3

Setuju (S)

4

Sangat Sejutu (S)

5

                        Sumber : (Bungin, 2013)

 

3.4       Populasi dan Sampel

 

3.4.1    Populasi

 Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan nya (Sugiyono, 2017). Adapun dalam penelitian ini, populasi yang diteliti adalah masyarakat Bandar Lampung.

 3.4.2    Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Menurut Heirs dalam Sugiyono (2017), apabila suatu penelitian menggunakan metode analisis regresi, maka harus memiliki minimal jumlah sampel lima kali dari jumlah pertanyaan yang ada kuesioner. Maka total jumlah kuesioner dalam penelitian ini yakni 5 kali jumlah pertanyaan yang mana jumlah pertanyaan sebanyak 26, sehingga menghasilkan sebanyak 130 responden.

 Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Menurut (Sugiyono, 2017) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Alasan menggunakan teknik purposive sampling adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Berdasarkan hal itu, penulis memilih teknik purposive sampling yang menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

 

Tabel 3.1 Kriteria pengambilan Sampel

Keterangan

1.       Masayarakat kota Bandar Lampung berusisa 19-45 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dimana pada usia tersebut diasumsikan responden telah mampu dan mengerti serta dapat menanggapi masing-masing pertanyaan dalam kuesioner dengan baik

2.       Konsumen yang membeli masker sensi secara spontan di shopee setelah menyebarnya berita virus korona atau Covid-19

3.       Konsumen yang membeli secara berlebihan pada produk  masker sensi setelah menyebarnya berita virus korona atau Covid-19

            Sumber data diolah, 2020

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya adalah suatu hal  yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

3.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen (Y) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi  akibat karena adanya variabel bebas, dalam penelitian ini adalah compulsive buying.

3.5.2 Variabel Independen

Variabel independen (X) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel independen dalam penelitian ini adalahimpulsive buying,perilaku kecemasan dan eskapisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3.3 Operasionalisasi Variabel dan Pengukuran Variabel

Variabel

Definisi Konsep

Definisi Opersional

Indikator

Pengukuran

Comppulsive buying (Y)

Compulsive buying adalah perilaku berbelanja yang tidak normal dimana perilaku tersebut tidak terkontrol, berlebihan, berulang, dan memiliki dorongan kuat untuk berbelanja yang dianggap sebagai cara untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stress dan kecemasan (Darrat, 2016)

Keputusan pembelian beberapa produk masker,handsanitizer dan alat kesehatan lainya secara tidak normal dan tidak terkontrol yang dilakukan dengan berlebihan secara berulang-ulang  karena dorongan dalam diri yang disebabkan oleh rasa cemas atas respon penyebaran wabah korona atau Covid-19

1.       Carriying on Despitte Adverse Consequences

2.       Lost  of  control

3.       Irresistible Impulsive

(Darrat, 2016)

Skala Interval

Impulsive buying (X1)

pembelian impulsif (impulsive buying) atau pembelian tidak terencana merupakan pembelian yang tidak rasional dan terjadi secara spontan karena

munculnya dorongan yang kuat untuk membeli dengan segera pada saat itu juga dan adanya perasaan positif yang kuat mengenai suatu benda, sehingga pembelian berdasar impulse tersebut cenderung terjadi dengan adanya perhatian dan mengabaikan konsekuensi negatif. (suhartini,2016)

 

Keputusan pembelian

Masker sensi di Shopee secara

tiba-tiba karena

dorongan dalam diri

untuk membeli dengan

segera karena menyebarnya wabah covid-19

1. Spontanity

2. Power, compulsion,

and intensity

3. Excitement and

simulation

4. Disregard for

consequences

(Suhartini, 2016)

Skala interval

Kecemasan konsumen (X2)

Kecemasan konsumen adalah fenomena kompleks yang memiliki pengaruh pada faktor biologis, psikologis, dan faktor lingkungan, sehingga jika konsumen sudah mengalami kecemasan, maka pusat fikitnya akan sangat mudah beralih kepada sesuatu yang dapat menjauhkannya dari sikap cemas atau disebut dengan perilaku eskapisme seperti menonton tv, mendengarkan musik, membaca buku atau pun berbelanja

(Muchnisa dan Sulaiman, 2020)

Dorongan dalam diri untuk berbelanja yang disebabkan oleh rasa cemas  karena adanya wabah virus korona atau Covid-19

1. Merasa takut tanpa alasan, yakni perasaan cemas, gelisah yang tidak diketahui penyebabnya

 

2. Mudah marah atau merasa panik, yaitu merasa tidak sabaran dan menjadi pemarah terhadap hal- hal kecil

 

3. Merasa tidak karuan, suatu keadaan atau kondisi dimana seseorang sedang mengalami pikiran atau perasaan yang sedang kacau tidak karuan. Dalam kondisi seperti      ini      seseorang      merasa“terkurung” dalam keadaan yang ada dan merasa kesulitan untuk mengambil keputusan apalagi untuk menyelesaikannya.(darrat, 2016)

Skala Interval

Eskapisme (X3)

Eskapisme merupakan perilaku atau tindakan yang bertujuan untuk menghindari diri dari kesulitan dan emosi negatif melalui fantasi atau imajinasi tentang sesuatu hal yang diharapkan terjadi dimasa yang akan datang seperti imajinasi tentang kesuksesan individu atau penerimaan dalam kehidupan sosial yang lebih baik. Konsumen yang berprilaku eskapisme ini mengalternatifkan berbelanja sebagai penghilang setres, dengan melakukan kegiatan belanja tersebut konsumen dapat menjauhkan diri dari peristiwa buruk dan akan merasa lega.

(muchnisa dan sulaiman, 2020)

eskapisme mendorong konsumen untuk berbelanja dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari peristiwa buruk akibat adanya penyebaran virus korona atau Covid-19

1.       Sering berkhayal atau melamun

2.       Mudah terbawa suasana dalam peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa negatif

3.       Sering memikirkan hal yang belum tentu terjadi

(Darrat, 2016)

Skala Interval

 

3.7       Uji Validitas dan Uji Reliabelitas

 

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka sebelum dilakukan uji statistik, terlebih dahulu data yang diperoleh harus dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dan uji reliabilitas digunakan untuk mengukur butir-butir pertanyaan agar tidak menyimpang dan akurat.

 

3.7.1 Uji Validitas

 

Menurut Silalahi (2016), validitas merujuk pada sejauh mana ukuran secara akurat merefleksikan pokok isi konstruk yang di ukur. Uji validitas merupakan pengukuran seberapa baik definisi operasional bekerja sama atau sesuai satu dengan yang lain dan seberapa baik indikator-indikator mewakili variabel sesuai dengan definisi operasional variabel: semakin baik kesesuaiannya semakin tinggi validitas pengukurannya. Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai sig dengan nilai alpha dengan taraf signifikasi 0,05. Dalam pengambilan keputusan untuk menguji validitas, kriterianya adalah:

 

1.      Jika nilai sig <alpha 0,05 maka butir atau variabel tersebut valid.

2.      Jika nilai sig>alpha 0,05 maka butir atau variabel tersebut tidak valid. Pengolahan data validitas menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Science) versi 20, dan apabila suatu alat ukur mempunyai korelasi yang signifikan antara skor item terhadap skor totalmya, maka dikatakan pertanyaan tersebut valid.

 

3.7.2    Uji Reliabilitas

 

Reabilitas adalah suatu pengukuran untuk mengetahui sejauh mana instrumen dapat dipercaya dengan koefisien keandalannya lebih besar dari 0,05. pengukuran keandalan butir pertanyaan dengan sekali menyebar kuesioner pada responden, kemudian hasil skornya diukur korelasinya antar skor jawaban pada butir pertanyaan dengan SPSS versi 20 dengan fasilitas Cronbach Alpha (α). Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6 (Sugiyono, 2017). Untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas digunakan kategori menurut Sugiyono (2017) sebagai berikut:

Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi (r)

Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199

Sangat Rendah

0,20 – 0, 399

Rendah

0,40 – 0,599

Sedang

0,60 – 0,799

Kuat

0,80 – 1,000

Sangat Kuat

3.8 Uji Prasyarat Analisis Data

 

Suatu model regresi berganda yang digunakan untuk menguji hipotesis harus memenuhi uji prasyarat analisis data. Hal ini digunakan untuk menghindari estimasi yang bias, mengingat tidak pada semua data dapat diterapkan regresi. Uji prasyarat analisis data terdiri dari :

 

3.8.1    Uji Normalitas

 

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2011). Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak dapat dilihat melalui normal probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi normal. Data normal akan membentuk suatu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonalnya. Selain itu untuk menguji normalitas residual dengan menggunakan  uji statistik non-parametik Kolmogrov-Smirnov (K-S). Jika hasil Kolmogrov-Smirinov menunjukan nilai signifikan diatas 0,05 maka data residual terdistribusi dengan normal. Sedangkan jika hasil Kolmogrov-Smirnov menunjukan nilai signifikan di bawah 0,05 maka data residual terdistribusi tidak normal.

 

3.8.2    Uji Homogenitas

 

Uji homogenitas adalah pengujian mengenai sama tidaknya variansi-variansi dua buah distribusi atau lebih. Uji homogenitas yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Uji Homogenitas Variansi dan Uji Bartlett. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam variabel X dan Y bersifat homogen atau tidak.Seperti pada uji statistik lainnya, uji homogenitas digunakan sebagai bahan acuan untuk menentukan keputusan uji statistik berikutnya. Menurut Widiyanto (2010) dasar atau pedoman pengambilan keputusan dalam uji homogenitas adalah sebagai berikut:

 

1.      Jika nilai signifikansi atau Sig. < 0,05, maka dikatakan bahwa varians dari dua atau lebih kelompok populasi data adalah tidak sama (tidak homogen).

2.      Jika nilai signifikansi atau Sig. > 0,05, maka dikatakan bahwa varians dari dua atau lebih kelompok populasi data adalah sama (homogen).

 

3.8.3    Uji Linieritas

 

Secara umum uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear secara signifikan atau tidak. Korelasi yang baik seharusnya terdapat hubungan yang linear antara variabel predictor atau independent (X) dengan variabel kriterium atau dependent (Y). Dalam beberapa referensi dinyatakan bahwa uji linearitas ini merupakan syarat atau asumsi sebelum dilakukannya analisis regresi linear. Dasar pengambilan keputusan dalam uji linearitas, yaitu:

 

1.      Jika nilai Deviation from Linearity Sig. > 0,05, maka ada hubungan yang linear secara signifikan antara variabel independent dengan variabel dependent.

2.      Jika nilai Deviation from Linearity Sig.< 0,05, maka tidak ada hubungan yang linear secara signifikan antara variabel independent dengan variabel dependent.

 

3.8.4Uji Multikoliniearitas

 

Menurut Sudarmanto dalam Tedi Rusman (2015) Uji asumsi tentang multikolinearitas ini dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji ada tidaknya hubungan yang linear antara variabel bebas (independen) satu dengan variabel bebas (independen) lainnya. Pengujian dengan menggunakan analisis regresi linier ganda, maka akan terdapat dua atau lebih variabel bebas atau variabel independen yang diduga akan memengaruhi variabel terikatnya (dependen). Pendugaan tersebut akan dapat dipertanggung jawabkan apabila tidak terjadi hubungan yang linear (multikoliniearitas) diantara variabel-variabel independen.

 

Adanya hubungan yang linear antar variabel independen akan menimbulkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Oleh karena itu, harus benar-benar dapat menyatakan bahwa tidak terjadi adanya hubungan linear diantara variabel-variabel independen tersebut. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Menurut Sarjono Haryadi., dan Julianita Winda (2011) Dasar pengambilan keputusannya adalah :

 

1.Jika nilai VIF < 10 maka tidak terjadi multikolinearitas diantara variabel bebas.

2.Jika nilai VIF > 10 maka terjadi gejala multikolinearitas diantara variabel bebas.

 

3.9 Analisis Regresi Berganda

Metode regersi berganda (multiple regresional) dilakukan terhadap model yangdiajukan oleh peneliti menggunakan program SPSS untuk memprediksi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka model penelitian yang dibentuk adalah sebagai berikut:

Y= α +β1 X1+β2X2+ β 3X3+e

Keterangan:

Y = Impluse Buying Behavior

X1 = Hedonic Shopping Motivation

X2 = Price discount

X3 = Pembayaran Elektronik

α = Konstanta

β = Koefisien Regresi

e = Standar Error

 

3.10     Pengujian Hipotesis

 

Uji hipotesis adalah metode Suatu permyataan mengenai nilai suatu parameter populasi yang dimaksudkan untuk pengujian dan berguna untuk pengambilan keputusan (Purwanto, 2015).

 

3.10.1      Uji Statistik F

Pengujian ini bertujuan untuk menunjukan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimaksudkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Berikut adalah hipotesisnya :

H0 : Impulsive Buying, Kecemasan Konsumen dan Eskapisme tidak berpengaruh terhadap Compulsive Buying

Ha : Impulsive Buying, Kecemasan Konsumen dan Eskapismeberpengaruh terhadap Compulsive Buying

Uji F dilakukan dengan membandingkan signifikansi Fhitung dengan Ftabel. Kriteria pengujian dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan F dengan kriteria sebagai berikut:

Jika nilai  > maka Ho ditolak dan Ha diterima

Jika nilai  < maka Ho diterimadan Ha ditolak

1.         Menentukan nilai titik kritis untuk F Tabel pada db1=k dan db2 = n-k-1

2.         Menentukan dan membandingkan nilai probabilitas (sig) dengan nilai α (0,05) dengan kriteria sebagai berikut:

Jika nilai sig < 0,05 maka Ho ditolak

Jika nilai sig > 0,05 maka Ho diterima

3.         Menentukan kesimpulan dari hasil uji hipotesis.

 

3.10.2      Uji Statistik t

 

Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas atau independen secara individu dalam menerangkan variasi variabel dependen. Berikut adalah hipotesisnya:

 

1.      H0: Tidak terdapat pengaruh antaraimpulsive buying terhadap Compulsive buying

Ha: Terdapat pengaruh antaraimpulsive buyingterhadap compulsive buying

 

2.      H0: Tidak terdapat pengaruh antara kecemasan konsumen terhadap compulsive buying

Ha: Terdapat pengaruh antara kecemasan konsumen terhadap compulsive buying

 

3.      H0: Tidak terdapat pengaruh antara eskapisme terhadapCompulsive buying

Ha: Terdapat pengaruh antara eskapisme terhadapCompulsive buying

 

Uji t dapat juga dilakukan dengan hanya melihat nilai signifikansi t masing-masing variabel yang terdapat pada output hasil regresi menggunakan SPSS. Jika angka signifikansi t lebih kecil dari α (0,05) maka dapat dikatakan bahwa ada pengaruh yang kuat antara variabel independen dengan variabel dependen (Ghozali, 2011). Uji t dilakukan dengan membandingkan signifikansi thitung dengan ttabel. Kriteria pengujian dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan uji t dengan kriteria sebagai berikut:

Jika t-hitung >dari t-tabel, maka Ha diterma dan Ho ditolak.

Jika t-hitung < dari t-tabel, maka Ha ditolak dan Ho diterima.

1. Menentukan nilai titik kritis untuk t Tabel pada db1=k dan db2 = n-k-1

2. Menentukan dan membandingkan nilai probabilitas (sig) dengan nilai α (0,05) dengan kriteria sebagai berikut:

Jika nilai sig < 0,05 maka Ho ditolak

Jika nilai sig > 0,05 maka Ho diterima

3. Menentukan kesimpulan dari hasil uji hipotesis

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

Baron, R., & Kenny, D. (2016). The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations. Journal of Personality and Social Psychology, 51(6), 1173-1182., 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Darrat, A. A., Darrat, M. A., & Amyx, D. (2016). How impulse buying influences compulsive buying: The central role of consumer anxiety and escapism. Journal of Retailing and Consumer Services, 31, 103–108. Doi:10.1016/j.Jretconser.2016.03.009, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Ghozali, I. (2011). Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS 19. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.1(6), 2–4.

Hoeve, Ichtiar Baru Van. Shadily, I. B. V. (2014). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Irfan Pramana, R., Suprihartini, L., & Wira, W. (2014). PENGARUH KEAMANAN, HARGA, KELOMPOK REFERENSI, DAN RISIKO KINERJA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN SECARA ONLINE OLEH MAHASISWA (Studi Pada Mahasiswa Manajemen Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Angkatan 2014). Artikel Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji, 1–12.

Manggi Asih Lestari dan Meita Santi Budiani. (2014). Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Pembelian Impulsif Pakaian Pada Mahasiswi Psikologi Universitas Negeri Surabaya Yang Melakukan Pembelian Secara Online. Psikologi, 02(3), 1–8.

Muchnisa, F., & Sulaiman. (2020). Pengaruh Pembelian Impulsif Terhadap Kecemasan Konsumen Yang Berdampak Pada Pembelian Kompulsif Dan Dimediasi Oleh Eskapisme (Studi Kasus Pada Matahari Departement Store Di Banda Aceh). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Manajemen Accredited SINTA, 4(1), 236–249. Retrieved from http:jim.unsyiah.ac.id/ekm

Pundian, Y. (2017). Pengaruh impulse buying, consumer anxiety, dan escapism terhadap perilaku compulsive buying pada konsumen sepatu di Surabaya. (Doctoral Dissertation, Widya Mandala Catholic University Surabaya)., 8–11.

 

 

 

 

0 comments: