Cari Blog Ini

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH MANAJEMEN PERSEDIAAN DALAM SYARIAH DISUSUN OLEH:  AYU NINGTIAS  1612110031  M. ROMI 1612110030  MAHRU...



MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

MANAJEMEN PERSEDIAAN DALAM SYARIAH


DISUSUN OLEH:

 AYU NINGTIAS  1612110031

 M. ROMI 1612110030

 MAHRUS  1612110031

 RAHMAD SANTOSO  1512110434



PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

INSTITUTE INFORMATIKA DAN BISNIS DARMAJAYA

BANDAR LAMPUNG

 

KATA PENGANTAR



 Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Manajemen persediaan dalam Syariah” meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterimakasih kepada Bapak Rico Elhando Badri, SEI., ME., selaku Dosen mata kuliah Manajemen Keuangan Syariah yang telah memberikan tugas ini kepada saya. 

 Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

 Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kepada Allah kami mohon ampun.





Bandar Lampung, 14 Juli 2019





 

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang



Salah satu fungsi manajerial yang sangat penting dalam operasional suatu perusahaan adalah pengendalian persediaan (inventory controll), karena kebijakan persediaan secara fisik akan berkaitan dengan investasi dalam aktiva lancar di satu sisi dan pelayanan kepada pelanggan di sisi lain. Pengaturan persediaan ini berpengaruh terhadap semua fungsi bisnis ( operation, marketing, dan finance). Berkaitan dengan persediaan ini terdapat konflik kepentingan diantara fungsi bisnis tersebut. Finance menghendaki tingkat persediaan yang rendah, sedangkan Marketing dan operasi menginginkan tingkat persediaan yang tinggi agar kebutuhan konsumen dan kebutuhan produksi dapat dipenuhi   

Berkaitan dengan kondisi di atas, maka perlu ada pengaturan terhadap jumlah persediaan, baik bahan-bahan maupun produk jadi, sehingga kebutuhan proses produksi maupun kebutuhan pelanggan dapat dipenuhi. Tujuan utama dari pengendalian persediaan adalah agar perusahaan selalu mempunyai persediaan dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam spesifikasi atau mutu yang telah ditentukan sehingga kontinuitas usaha dapat terjamin (tidak terganggu).

Pertumbuhan perusahaan yang meningkat dalam rangka meraih pangsa pasar yang lebih besar dibutuhkan persediaan yang sangat besar dalam menunjang pertumbuhan penjualan perusahaan. Pengelolaan persediaan yang baik di perusahaan sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan penjualan. Kekurangan persediaan sangat menggagu jalannya operasional perusahaan yang selanjutnya akan menggangu strategi pemasaran perusahaan. Persediaan yang terllau banyak diperusahaan juga akan mengakibatkan adanya kerusakan bahan baku yang menumpuk digudang dan kemungkinan menimbulkan biaya yang cukup besar Untuk itu dibutuhkan manajemen persediaan yang efektif agar perusahaan dapat menjalankan usahanya dengan lancar.

Usaha untuk mencapai tujuan tersebut tidak terlepas dari prinsip-prinsip ekonomi, yaitu jangan sampai biaya-biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi. Baik persediaan yang terlalu banyak, maupun terlalu sedikit akan minimbulkan membengkaknya biaya persediaan. Jika persediaan terlalu banyak, maka akan timbul biaya-biaya yang disebut carrying cost, yaitu biaya-biaya yang terjadi karena perusahaan memiliki persediaan yang banyak, seperti : biaya yang tertanam dalam persediaan, biaya modal (termasuk biaya kesempatan pendapatan atas dana yang tertanam dalam persediaan), sewa gudang, biaya administrasi pergudangan, gaji pegawai pergudangan, biaya asuransi, biaya pemeliharaan persediaan, biaya kerusakan/kehilangan, Begitu juga apabila persediaan terlalu sedikit akan menimbulkan biaya akibat kekurangan persediaan yang biasa disebut stock out cost seperti : mahalnya harga karena membeli dalam partai kecil, terganggunya proses produksi, tidak tersedianya produk jadi untuk pelanggan. Jika tidak memiliki persediaan produk jadi terdapat 3 kemungkinan, yaitu : 1). Konsumen menangguhkan pembelian (jika kebutuhannya tidak mendesak). Hal ini akan mengakibatkan tertundanya kesempatan memperoleh keuntungan. 2). Konsumen membeli dari pesaing, dan kembali ke perusahaan (jika kebutuhan mendesak dan masih setia). Hal ini akan menimbulkan kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan selama persediaan tidak ada. 3). Yang terparah jika pelanggan membeli dari pesaing dan terus pindah menjadi pelanggan pesaing, artinya kita kehilangan konsumen.



1.2 Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan Manajemen Persediaan??

2.      Apa saja model-model yang ada di dalam Manajemen Persediaan?

3.      Apakah yang di maksud dengan bahan baku?

1.3 Tujuan masalah

Untuk menjelaskan Manajemen Persediaan, model” yang ada di dalam Menajemen Persediaan & Bahan Baku.


1.4 Manfaat Penulis

Bertujuan untuk penerapan ilmu dan teori yang diperoleh peneliti selama mengikuti perkuliahan yang sebenarnya sehingga menambah wawasan mengenai Manajemen Persediaan dalam Syariah.

 

BAB II

PEMBAHASAN


Manajemen Persediaan.

 Manajemen persediaan adalah menentukan keseimbangan antara investasi persediaan dengan pelayanan pelanggan. Dimana persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, atau untuk suku cadang dari suatu peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang. Bisa dikatakan tidak ada perusahaan yang beroperasi tanpa persediaan, meskipun sebenarnya persediaan hanyalah suatu sumber dana yang menganggur, karena sebelum persediaan digunakan berarti dana yang terikat di dalamnya tidak dapat digunakan untuk keperluan lain. Begitu pentingnya persediaan ini sehingga para akuntan memasukkannya dalam neraca sebagai salah satu pos aktiva

 Lancar. Sebagai salah satu aset penting dalam perusahaan karena biasanya mempunyai nilai yang cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi perencanaan dan pengendalian persediaan merupakan suatu kegiatan penting yang mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan. Sistem persediaan adalah serangkaian kebijaksanaan yang memonitor tingkat persediaan dan mementukan tingkat persediaan yang harus di jaga, kapan persediaan harus di isi, dan berapa besar pesanan yang harus dilakukan.

A.                Jenis – jenis Persediaan

b.      Prsediaan bahan mentah (Raw materials)yaitu; persediaan barang – barang berwujud seperti baja, kayu da komponen –  komponen lainnya yang di gunakan dalam proses produksi.

c.       Persediaan komponen – komponen rakitan (pruchased parts/ components)yaitu; persediaan barang – barang yang terdiri perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu prodak.

d.      Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies)yaitu; persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.

e.       Persediaan barang dalam proses (work in process)yaitu; persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 

e.       Persediaan barang jadi (finished goods)yaitu; persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau di olah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau di kirim kepada langganan.


Fungsi-fungsi Persediaan

a.                   Fungsi “Decoupling”Fungsi penting persediaan adalah memungkinkan operasi – operasi perusahaan internal dan eksternal mempunyai “kebebasan” (independence). Persediaan “Decouples” ini memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung pada suplier.

    1. Fungsi “Economic Lot Sizing”Persediaan “lot size” ini perlu mempertimbangkan “penghematan-penghematan” (potongan pembelian, biaya pengankutan per unit lebih murah dan sebagainya). Karena perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar, dibandingkan dengan biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan (biaya sewa gudang, investasi, risiko, dan sebagainya).
    1. Fungsi antisipasi Seiring perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu, yaitu permintaan musiman.
  1. Tujuan Pengelolaan Persediaan.

         Tujuan pengelolaan persediaan adalah sebagai berikut :

a. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan cepat (memuaskan konsumen).

b. Untuk menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan tidak mengalami kehabisan persediaan yang mengakibatkan terhentinya proses produksi, hal ini dikarenakan alasan :

-          Kemungkina barang (bahan baku dan penolong) menjadi langka sehingga sulit untuk diperoleh.

-          Kemungkinan supplier terlambat mengirimkan barang yang dipesan.

c.       Untuk mempertahankan dan bila mungkin meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.

d.      Menjaga agar pembeliaan secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan biaya menjadi besar.

e.       Menjaga suapaya penyimpanan dalam emplacemet tidak besar-besaran, karena mengakibatkan biaya menjadi besar.

  1. Pendekatan Manajemen Persediaan

a.      Pendekatan Tandisional

Operasi pendekatan tradisional merupakan pendekatan yang lebih menekankan biaya persediaan, pendekatan ini memproduksi komponen produksi dalam jumlah besar dengan maksud untuk mengantisipasi kalau terjadi sesuatu.

b.      Metode Economic Order Quantity

Metode EOQ. Metode ini dapat digunakan baik untuk barang yang dibeli maupun untuk barang yang diproduksi sendiri.

c.       Pendekatan Just In Time (JIT)

Adalah suatu sistem yang memusatkan pada eliminasi aktivitas pemborosan dengan cara memproduksi produk sesuai dengan permintaan konsumen dan hanya membeli bahan sesuai dengan kebutuhan produksi yang tepat, waktu dan tempat yang tepat.

2.                  Manajemen Persediaan dalam Perspektif Keuangan Syariah.

 Al-Qur’an yang mengatur tentang persediaan masa depan ialah :

QS. Lukman ayat 34 yang menyatakan bahwa : “sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya pengetahuan tentang hari kiamat dan Dia-lah yang menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seseorang pun yang mengetahui apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan meninggal. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

 Setiap individu maupun kelompok selalu memerlukan persediaan yang memadai agar tidak dihadapkan dengan resiko jika suatu saat tidak dapat memenuhi keinginannya terutama dalam hal perusahaan. Aplikasi manajemen persediaan pada hakikatnya juga berkaitan dengan perbuatan SDM perusahaan yang bersangkutan.

A.                Konsep Manajemen Persediaan Dalam Islam.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam islam, yakni:

a.                   Menyimpan kelebihan setelah kebutuhan primer terpenuhi. Dalam hal ini Islam menganjurkan kita untuk mempunyai skala prioritas. Seseorang harus dapat melatih dirinya maupun keluarganya untuk menabung dengan bentuk yang paling sederhana untuk kebaikan mereka.

b.      Menyimpan kelebihan untuk menghadapi kesulitan. Sesuai dengan surah Yusuf ayat 48 Hidup dapat mengalami pasang surut perekonomian maka ketika dedang longgar harus dapat menyisihkan dana untuk menghadapi krisis yang tak terduga pada masa yang akan datang atau sebagai persediaan kebutuhan dimasa depan.

c.       Hak harta keturunan sebagai generasi mendatang. Dalam konsep islam kedua orang tua harus menyadari bahwa generasi mendatang memiliki hak dari harta mereka sehingga dianjurkan untuk tidak berlebih-lebihan dan mengabaikan kelangsungan hidup generasi mendatang

d.      Tidak menimbun dan memonopoli harta kekayaan. islam mengharamkan penimbunan harta dalam segala bentuk. Namun para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan menafkahkan ialah dengan cara investasi mudharabah(bagi hasil) maupun usaha musyarakah. Pengembangan harta tersebut dengan cara :

1.      Bisnis swasta perniagaan dan produksi barang atau jasa.

2.      Penanaman modal mudharabah dengan pihak lain.

3.      Perserikatan usaha patungan(musyarakah).

4.      Penitipan dalam bentuk giro maupun tabungan bank Islam.

5.      Kerjasama lainya dalam pengembangan modal.

6.      Pengembangan harta dilakukan melalui usaha yang baik dan halal.

Pengembangan harta harus menghindari riba, dan hal-hal yang menimbulkan kerusakan. Usaha, pengeluaran, dan pengembangan yang halal adalah mata rantai yang saling berhubungan. Oleh karena itu, setiap orang harus menghayati firman Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan seekah” QS. Al-Baqarah ayat 276.

B.   Persediaan dalam perbankan syariah.

Dalam perbankan syariah menggunakan pendekatan just in time (JIT) yang merupakan system yang dikembangkan atas dasar perbaikan dari kekurangan system tradisional

Persediaan dalam perbankan syariah meruipakan aktivas non-kas yang tersedia untuk:

1.      Dijual dengan akad murabahah.

2.      Diserahkan sebagian modal bank dalam akad mudharabah atau musyarakah.

3.      Disalurkan dalam akad salam atau salam parallel.

4.      Aktiva istishna’ yang telah selesai, tetapi belum diserahkan bank kepada pembeli terakhir.

Hal yang tidak termasuk dalam pengertian persediaan di bank syariahadalah:

1.      Aktiva istishna’ dalam penyeselesaian.

2.      Aktiva tetap yang digunakan oleh bank

3.      Aktiva ijarah.

 

 

BAB III

PENUTUP


1.         Kesimpulan.

Dari pokok bahasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa manajemen persediaan merupakan fungsi menejerial yang sangat penting, karena persediaan fisik banyak perusahaan melibatkan investasi terbesar dalam pos aktiva lancar. perencanaan persediaan sangat berpengaruh penting terhadap roda aktivitas kegiatan produksi. Lebih lanjut lagi jika hal tersebut dikelola dengan baik dan terukur maka akan kegiatan produksi akan berjalan efektif dan efisien.

2.                  Saran.

Kami selaku pemakalah menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara penulisan dan bahasa yang di pergunakan maupun dari segi penyajian. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan demi memberikan penjelasan yg lebih baik dalam makalah ini.

 

AKAD AKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH DISUSUN OLEH: MUHAMMAD ROMI 1612110030 MATA KULIAH : MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH S1-...



AKAD AKAD DALAM
MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH


DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD ROMI 1612110030



MATA KULIAH : MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
S1-Manajemen






FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
INFORMATICS AND BUSINESS INSTITUT DARMAJAYA
BANDAR LAMPUNG
2019







BAB I
PENDAHULUAN

Akad  adalah bingkai transaksi dalam ekonomi syariah , karena  melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad menfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan  dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial. Dalam Hukum Islam Istilah “Akad”  untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan juga untuk menyebut kontrak (contract). Pada pembahasan Fiqih Muamalah kontrak atau perjanjian disebut dengan aqad. Hal itu adalah sebagaimana surat al –Maidah (5) ayat 1 :
               “ Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad diantara kamu” ..Karena setiap perjanjian (al-ahdu) pasti akan dimintai pertanggung jawabannya (surat al-Isra (17) ayat 34).

Perjanjian atau Akad mempunyai arti penting dalan kehidupan masyarakat dan merupakan ‘dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Akad  adalah bingkai transaksi dalam ekonomi syariah ( M. Isnaeni, 2016), karena melalui Akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad menfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan  dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial. Pernyataan Roscoe Pound dalam   abad pertengahan dimana sebagian besar kekayaan orang terdiri dari janji-janji dan keuntungan yang dijanjiakan orang lain terhadapnya. Dalam Hukum Islam Istilah “Akad” untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan juga untuk menyebut kontrak (contract) Istilah akad merupakan istilah tua yang sudah digunakan sejak jaman klasik sehingga sudah sangat baku.Pada pembahasan Fiqih Muamalahkontrak atau perjanjian disebut dengan aqad. Adapun menurut para fuqaha  al-aqd adalah perikatan yang ditetapkan melalui ijab qabul berdasarkan ketentuan syara yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.   











BAB II
PEMBAHASAN

Akad yang mempunyai makna umum sebagai pertukaran janji diantara  dua pihak atau lebih, dan bermakna khusus sebagai komitmen yang menghubungkan penawaran dan penerimaan. Akad adalah janji atau kontrak, yang bermakna sebagai kewajiban hukum dari salah satu pihak kepada pihak lain yang membuat kontrak. Dengan kontrak yang bersepakat melaksanakan kewajiban hukum yang timbul diantara mereka.9Dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) harus memenuhi rukun dan syarat akad. Syarat akad dibedakan  menjadi empat macam yaitu ; 
(1) syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad), 
(2) syarat keabsahan akad (syuruth ash-shihhah), 
(3) Syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruthan-nafadz) dan 
(4) syarat mengikatnya akad (syuruth al-luzum). 

Dalam hukum Islam, unsur-unsur yang dapat membentuk sesuatu disebut  rukun akad adalah unsur-unsur yang membentuk akad, sehingga akad itu terwujud karena adanya unsur-unsur  yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu ; 
(1) para pihak yang membuat  akad (al-‘aqidan), 
(2) pernyataan kehendak /kesepakatan para pihak (shigatul-aqd), 
(3) obyek akad (mahallul-‘aqd) ,dan 
(4) tujuan akad (maudhu al-‘aqd). 

Rukun-rukun ini harus ada untuk terjadinya akad.   Salah satu syarat terbentuknya akad adalah terjadinya penyataan kehendak/ kesepakatan (ijab  qabul) yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Ijab dan Qabul adalah bentuk penawaran dan penerimaan/ persetujuan sebagai pernyataan kehendak untuk tercapainya kesepakatan. Kesepakatan terjadi pada saat ada pertemuan dari dua kehendak yakni penawaran dan penerimaan. Apabila telah diterima atau disetujui oleh pihak lainnya, maka terjadi penerimaan dan terjadi persesuaian kehendak kedua belah pihak. Dengan tercapainya kesepakatan maka terjadilah akad/ kontrak/perjanian. Kesepakatan dapat dilakukan dengan berbagai cara tertulis, dengan cara lisan maupun dengan simbul-simbul tertentu. Dengan cara tertulis dapat dilakukan dengan membuat akta yang mempunyai kekuatan hukum dalam pembuktian.Syarat terbentuknya  akad (Syurth al-In’iqad); masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam syariah ,syarat-syarat dimaksud disebut syarat-syarat terbentuknya akad (Syuruth al-In ‘iqad). 

Rukun pertama, yaitu para pihak harus memenuhi dua syarat yaitu 
(1) tamyis, dan 
(2) berbilang (at-ta’addud). 

Rukun kedua yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat juga, yaitu 
(1) adanya persesuaian ijab dan qabul, dengan kata lain adanya kata sepakat, dan (2) kesatuan majelis akad . 
Rukun ketiga, yaitu obyek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu 
(1) obyek itu dapat diserahkan, 
(2) tertentu, atau dapat ditentukan, dan 
(3) obyek itu dapat ditransaksikan. 

Rukum keempat, memerlukan satu syarat, tidak bertentangan dengan syarak. Rukun-rukun dan syrat-syarat terbentuknya akad yang disebutkan diatas memerlukan kwalitas tambahan sebagai unsur  penyempurnaan. Perlu ditegaskan bahwa dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat terbentuknya, suatu akad memang sudah terbentuk dan mempunyai wujud yuridis syar’i, namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad,  maka rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurnaan yang menjadikan suatu akad sah. Unsur-unsur penyempurnaan ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu syarat keabsahan umum yang berlaku terhadap semua akad dan syarat –syarat  syarat-syarat khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.

Transaksi Syariah.
Dalam operasional praktek Ekonomi Islam12 dikenal produk-produk yang diperkenalkan kepada masyarakat melalui perbankan syariah, dimana sebelum mengenal dan mengetahui lebih jauh tentang produk-produk tersebut, maka terlebih dahulu harus dipahami tentang berbagai prinsip bertransaksi secara syariah. “Transaksi” (tran’saction)13 yang mempunyai arti pelaksanaan; perjanjian (berunding); pelaksanaan perjanjian dan “syariah” yang berarti sesuai hukum Islam, transaksi syariah berarti pelaksanaan kegaiatan bermuamalah sesuai dengan syariah/hukum Islam. Transaksi Syariah dalam bermuamalah melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS), perbankan Syariah, BPR Syariah atau Baitu al-Mal wa al- Tamwil (BMT) atau yang sejenisnya diselenggarakan dan dilaksanakan sesuai garis-garis ketentuan syar’i (hukum Islam) dan hukum positif yang berlaku (Bank Indonesia).

Secara garis besar dijumpai dua bentuk akad transaksi syariah, yaitu akad
tabarru’ dan akad tijaroh (bisnis).
1. Akad tabarru’ (kebajikan) yakni akad dalam transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih dan tidak profit oriented (tujuan keuntungan). Akad Tabarru’ berguna untuk tujuan adanya rasa saling menolong antar sesama dengan tanpa mengharap adanya balasan (imbalan keuntungan) kecuali pahala dan ridho Alloh, sehingga masing-masing pihak tidak dapat mengambil keuntungan dari bentuk trnsaksi tersebut. Yang tergolong dalam transaksi syariah ini antara lain: Qordh, Rohn, Hawalah, Wakalah, Wadi’ah, Kafalah dan Waqaf.

2. Akad tijaroh (bisnis) yang merupakan jenis akad transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit oriented bisnis). Akad Tijaroh digunakan dalam transaksi syariah yang mempunyai tujuan mendapatkan keuntungan (profit oriented bisnis), dan masing-masing pihak terkait berhak untuk mendapatkan bagian keuntungan sesuai dengan besaran yang telah disepakati bersama. Akad tijaroh bisa diubah menjadi akad tabarru’ bila dilakukan dengan ikhlash dan sebaliknya akad tabarru’ tidak boleh digantikan akad tijaroh.


Jenis-jenis Akad Syariah

a.    Wadiah
Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.

b.    Mudharabah
Akad kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua ('amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

c.    Musyarakah

Akad kerjasama diantara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana masing-masing.

d.    Murabahah
Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

e.    Salam
Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.

f.     Istisna'
Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat (shani').

g.    Ijarah
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikian barang itu sendiri.


h.    Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.

i.     Qardh
Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.





































BAB III
PENUTUP
Secara umum tujuan dalam ekonomi Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat yang adil dengan menghilangkan bentuk ketidakadilan dan ketidakseimbangan. Terdapat tiga pilar ekonomi syariah, yaitu keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan. Keadilan dalam arti kegiatan perekonomian yang menghindari riba, maisir, gharar, zalim dan haram.

Akad adalah bingkai transaksi dalam ekonomi syariah, karena  melalui Akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad menfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan  dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.

Akad dengan berlandaskan prinsip-prinsip syariah atau hukum Islam,  adalah hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah/ Hadits yang mengatur kehidupan manusia secara  komprehensif, berlaku universal dan diterapkan sesuai ruang dan waktu. 

Hukum Islam/syariah dapat menjamin kesatuan dalam keragaman yaitu penetapann atau penilaian terhadap semua perbuatan dan hubungan manusia sehingga hukum Islam/ Syariah bersifat sistematis yang dapat menghubungkan antara satu dengan yang lainnya. Artinya bahwa keseluruhan hukum Islam/Syariah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan etika berupa institusi, transaksi ataupun perjanjian/ akad yang diukur dengan standar agama dan moral seperti larangan riba, jual beli yang mengandung ketidak pastian (gharar)  atau bersikap adil kepada kedua belah pihak.Dalam hukum Islam/Syariah prinsip tauhid prinsip yang mendasari seluruh aspek kehidupan. Tauhid merupakan konsep dasar dan pemahaman menauhidkan atau inti aqidah.

MANAJEMEN RISIKO PADA LEMBAGA PERBANKAN DAN NON-PERBANKAN TUGAS MANAJEMEN  Oleh MUHAMMAD ROMI 1612110030 PROGRAM STUDI MANAJEMEN...



MANAJEMEN RISIKO PADA LEMBAGA PERBANKAN DAN NON-PERBANKAN

TUGAS MANAJEMEN 

Oleh
MUHAMMAD ROMI
1612110030



PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
INFORMATICS AND BUSINESS INSTITUTE DARMAJAYA
BANDAR LAMPUNG
2019

  1. MANAJEMEN RISIKO PADA LEMBAGA PERBANKAN
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI BANK OCBC NISP 
Implementasi manajemen risiko di lingkungan Bank mengacu kepada Risk Appetite Statement (RAS) yang menjadi landasan dasar bagi Bank dalam menjalankan sistem manajemen risiko guna mengatur hal-hal yang berkaitan dengan appetite Bank dalam proses pengambilan risiko sebagai bagian dari upaya Bank dalam mendukung pertumbuhan bisnisnya secara hati – hati dan berkesinambungan. Risk Appetite Statement (RAS) berfungsi sebagai tools untuk menetapkan profil, besaran, dan karakteristik risiko yang dapat diambil Bank agar Bank memiliki batasan dalam pengambilan risiko sesuai dengan tingkat keuntungan dan target pertumbuhan bisnis perusahaan. Pada pelaksanaannya, RAS akan dijabarkan ke dalam besaran limit – limit dan tingkat toleransi risiko sesuai dengan jenis dan karakteristik risiko masingmasing serta disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris sebelum diimplementasikan. Dalam rangka menunjang pelaksanaan fungsi manajemen risiko, selain RAS, Bank juga memiliki berbagai kebijakan manajemen risiko dan prosedur kerja serta berbagai infrastruktur penunjang lainnya, seperti sistem manajemen risiko dan sistem informasi manajemen yang berperan untuk memastikan bahwa fungsi manajemen risiko di lingkungan Bank telah berlangsung dengan efektif. Dengan demikian, Bank telah menjalankan fungsi manajemen risiko yang sejalan dengan kerangka kerja manajemen risiko sebagai wujud kombinasi atas citra dan identitas perusahaan, arahan pemegang saham, dan strategi yang ditetapkan.

PENGENDALIAN RISIKO TERHADAP PRODUK DAN/ATAU AKTIVITAS BARU 
Agar Bank dapat senantiasa memenuhi kebutuhan Nasabah yang semakin beragam, Bank perlu melakukan inovasi secara kontinu atas produk dan/atau aktivitasnya. Guna memastikan inovasi tersebut telah dilakukan dengan infrastruktur yang siap, proses yang siap, patuh terhadap regulasi dan pengendalian risiko yang memadai, maka Bank menyusun Kebijakan Manajemen Produk atau yang dikenal dengan istilah New Product Approval Process (NPAP). Identifikasi risiko dilakukan terhadap risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional & TI, risiko kepatuhan, risiko pencucian uang & pendanaan terorisme, risiko hukum, risiko stratejik, risiko reputasi dan risiko pelaporan keuangan. Identifikasi dan mitigasi risiko dilakukan oleh Product Developer sebagai pemilik produk dan/atau aktivitas baru (first line of defense) dan berkoordinasi dengan Risk Subject Matter Expert (second line of defense) yang terdiri dari Risk management Group dan unit kerja terkait lainnya. Produk dan/atau aktivitas baru perlu mendapatkan masukan dan persetujuan dari Product Management Committee (PMC) yang diketuai oleh Presiden Direktur serta beranggotakan seluruh Direktur. PMC melakukan aktivitas pegawasan secara reguler terhadap status pengembangan produk dan/atau aktivitas baru dan hasil reviu atas produk dan/atau aktivitas yang sudah ada (existing). Sebagai pelaksana yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan produk dan/atau aktivitas baru, termasuk pengadministrasian pengajuan produk dan/atau aktivitas baru dan pemantauan terhadap jadwal pengajuan dan pelaksanaan reviu, Bank telah membentuk unit kerja yang berfungsi sebagai Product Management.


MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI 
Terkait dengan Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dimana Bank bertindak sebagai Entitas Utama yang ditunjuk oleh OCBC Ltd. melalui OCBC Overseas Investment Pte. Ltd selaku pemegang saham pengendali, Bank telah melakukan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi secara komprehensif. Dalam Konglomerasi keuangan ini, Bank terelasi dengan Great Eastern Life Indonesia dan OCBC Sekuritas Indonesia. Alignment terus dilakukan dengan perusahaan-perusahan terelasi dalam Konglomerasi Keuangan mengingat hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai sektor jasa keuangan dapat memengaruhi kelangsungan usaha lembaga jasa keuangan yang disebabkan oleh eksposur risiko yang timbul baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha perusahaan yang tergabung dalam suatu Konglomerasi Keuangan. Pemantauan dan pengelolaan manajemen risiko terintegrasi meliputi 10 (sepuluh) jenis risiko yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri dari risiko kredit, pasar, operasional, likuiditas, hukum, stratejik, reputasi, kepatuhan, risiko transaksi intra group dan risiko asuransi. Penerapan manajemen risiko terintegrasi meliputi 4 (empat) pilar utama yang terdiri dari: 
1. Pengawasan Dewan Komisaris dan Direksi Entitas Utama. 
2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko Terintegrasi. 
3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko secara terintegrasi, serta sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi. 
4. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Berdasarkan hasil penilaian self-assessment tahun 2017, peringkat profil risiko Bank (composite risk rating) baik sebagai Entitas Utama maupun secara terintegrasi berada pada kategori peringkat “Low”.

PENGELOLAAN RISIKO KREDIT
Risiko kredit adalah risiko yang timbul akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain (counterparty) dalam memenuhi kewajibannya kepada Bank. Risiko kredit Bank dapat muncul dari penyediaan dana untuk Nasabah di segmen Business Banking (Corporate dan  Commercial Business), Retail Banking (Consumer dan Emerging Business), Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembaga Keuangan bukan Bank (LKBB). Kegiatan perbankan berupa trading dan investment seperti trading derivatif, debt securities, pertukaran mata uang asing, dan transaksi penyelesaian juga dapat membuat Bank terekspos risiko counterparty dan risiko issuer credit.



  1. Manajemen Risiko Pada Lembaga Non Perbankan
Melihat makin bertumbuhnya industri keuangan non-bank di Indonesia, tiga bulan lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan satu peraturan baru yaitu Peraturan OJK No. 01/POJK/2015 mengenai penerapan manajemen risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB) yang akan segera berlaku efektif tanggal 1 Januari 2016.  Tentunya dengan waktu yang tersisa, ini merupakan tantangan regulasi di industri di dalam ruang lingkup LJKNB untuk segera berbenah dan menyiapkan diri menyikapi aturan baru tersebut.
Aturan ini dikeluarkan dengan melihat pertama, bahwasanya kondisi internal dan eksternal lembaga dimaksud dapat meningkatkan kompleksitas tingkat risiko yang dihadapi; kedua bahwa semakin kompleksnya risiko perlu diimbangi dengan penerapan manajemen risiko yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.
Jauh sebelumnya, industri asuransi sebagai salah satu lembaga dimaksud, oleh Kementerian Keuangan sejak 2003 melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”) diwajibkan setiap saat memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% dari risiko kerugian yang timbul. Dari sinilah munculnya konsep risk based capital, di luar capital asuransi yang ada.
Hal senada juga diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 53/PMK.10/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Jadi, ditinjau dari segi hukum, Pemerintah telah memberikan payung hukum untuk melindungi kepentingan nasabah perusahaan asuransi dengan menetapkan risk based capital. Sehingga, diharapkan perusahaan asuransi memiliki kekuatan modal yang cukup dan menghindarkan risiko merugikan nasabahnya dalam hal terjadi masalah atau kerugian sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
Jika kita kembali menilik aturan OJK ini,  industri asuransi akan ter-ekspose paling sedikit 7 (tujuh) jenis risiko, yaitu:
  • Risiko Strategi;
  • Risiko Operasional; 
  • Risiko Aset dan Liabilitas; 
  • Risiko Kepengurusan;
  • Risiko Tata Kelola;
  • Risiko Dukungan Dana; dan
  • Risiko Asuransi.
Tentunya penerapan manajemen risiko nantinya harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas industrinya itu sendiri. Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud paling sedikit mencakup
  • Pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, atau yang setara dari LJKNB;
  • Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;
  • Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko;
  • Sistem informasi Manajemen Risiko; dan 
  • Sistem pengendalian intern yang menyeluruh. 
Pengawasan aktif direksi, dewan komisaris merupakan hal penting untuk disebutkan sebagai yang pertama. Dalam konteks kerangka Enterprise Risk Management (ERM) atau yang dikenal juga dengan Manajemen Risiko Terintegrasi, mandat dan komitmen dari manajemen puncak merupakan prasyarat awal sebelum menyusun rencana kerja pengelolaan risiko.
Tentunya kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit menjadi hal kedua yang penting dibangun. Manajemen puncak perlu memiliki dan memahami bahasa risiko yang sama, sebab jika tidak, akan sulit untuk menetapkan risk limit atau risk appetite perusahaan. Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang disusunpun, dipastikan tidak berdiri sendiri, namun memiliki sinergi dengan kebijakan utama perusahaan dan kebijakan-kebijakan internal lainnya serta regulasi eksternal terkait. Oleh karena itu, kerjasama dengan unit-unit kerja di luar risk management unit merupakan hal penting juga. Karena di sini dengan membangun Enterprise Risk Management (ERM) yang merupakan keterpaduan ke- 7 jenis risiko asuransi, maka ERM akan menjadi “Everybody is a Risk Manager”.
Kecukupan proses manajemen risiko dari mulai proses identifikasi risiko hingga proses perlakuan risiko, akan menjadi tantangan besar, terutama metodologi untuk pengukuran risiko dari masing-masing risiko tidak selalu sama. Sebagai contoh, dalam mengukur risiko operasional, maka risk tools seperti Risk Control Self-Assessment (RCSA), Key Risk Indicator (KRI) dan Loss Event Database (LED) menjadi perangkat standar yang dipakai; berbeda lagi dengan risiko Asset & Liabilities, akan menggunakan misalnya gap analysis untuk mengukur perbedaan maturity masing-masing instrumen keuangan. Semua tools dalam tujuh risiko ini memerlukan disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh para risk managers.

Kecukupan manajemen sistem informasi diperlukan guna membantu pelaku industri memiliki kecukupan data yang dapat dipakai sejak mulai mengidentifikasi risiko. Data historis risiko asuransi  diperlukan paling tidak untuk tiga hal yaitu:

Sebagai pembelajaran yang baik bagi industri agar tidak terjadi lagi di masa depan;
Sebagai bagian dari risk analytics process sehingga industri asuransi dapat melakukan statistical modelling guna mensimulasi berapa besar modal yang perlu dialokasikan dalam kerangka mengcover risiko-risiko tersebut.
Lebih jauh lagi, merupakan bahan untuk stress-testing guna melihat seberapa besar daya tahan perusahaan dalam skenario bisnis yang buruk atau terburuk sekalipun.
Akhirnya, aspek pengendalian intern yang menyeluruh diperlukan dengan melibatkan three lines of defense (Tiga Lini Pertahanan), yaitu a) Business Operations itu sendiri sebagai risk owner; b) Oversight functions, yakni Finance, Human Resources, Quality dan Risk Management; dan 3) Independent Assurance dalam hal ini internal audit unit, external audit dan/atau penyedia Independent Assurance lainnya. Jika ketiga lini ini berfungsi dengan baik, maka dapat dipastikan perusahaan akan dapat mengendalikan risiko-risiko, baik itu risiko yang dihadapi, ditransfer, dikurangi ataupun diputuskan untuk mengambil strategi untuk dihindari. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) dimana manajemen risiko merupakan salah satu pilar penting, juga bagian dari keseluruhan pengendalian perusahaan sampai di tingkat dewan komisaris dan direksi.

Mengingat banyaknya pekerjaan rumah yang harus disusun oleh industri asuransi dalam meresponi aturan OJK ini, maka tak pelak, dalam beberapa bulan ke depan, industri asuransi perlu segera menyusun strategi dan rencana untuk menyiapkan proses yang baik, sumber daya manusia yang capable, dan didukung teknologi yang mumpuni sebagai enabler dalam proses manajemen risiko.